Epilog

220 24 27
                                    

Dapat melupakan masa lalu kelam, mungkin jadi bagian yang diharapkan bagi sebagian orang. Berpikir semua masalah akan terselesai setelah melupakan semuanya. Tapi ada yang tidak boleh diabaikan. Ketika berharap mengalami lupa ingatan, maka harus siap melupakan orang-orang disayang yang pantas diingat selamanya. Yang bisa jadi dia lah yang menyelesaikan masalah itu.

"Hyung, gomawoyo untuk makanannya. Aku lupa kita tidak punya makanan di sini." Jira memandang punggung Jihoon yang membelakanginya sambil membuka bungkus makanan.

"Karena fokus dengan ingatan Jira, aku jadi tidak memikirkan masalah yang kemarin. Tapi kami hampir saja tertangkap kamera karena sasaeng mengikuti kami dari dorm." Perlahan-lahan Jira menghampiri Jihoon. Matanya masih setengah terbuka walau sudah dibasuh. Dia sempat melirik jam ponselnya yang menunjukkan setengah 6 pagi, tapi Jihoon terlihat sudah mandi dengan rambut yang basah.

"Ani. Aku berhasil menghindari mereka. Kami baik-baik saja. Meskipun nanti mereka curiga, yang penting tidak ada yang tau kami sedang ada di sini. Sejak rumah ini di segel, tidak mungkin ada yang ke sini." Kaki Jira terhenti mendengar kata 'segel'. Kenapa rumahnya harus disegel?

"Fans Jira? Aku tidak terlalu yakin. Terakhir kali aku memeriksa akunnya, sebagian dari mereka memilih pergi dan memutuskan beralih bias." Terdengar suara retakkan di telinga Jira. Bukan benda rapuh semacamnya, tapi hatinya terdengar remuk. Tidak heran dirinya memilih lupa diri. Tidak ada yang menyayanginya. Keluarga tidak ada. Fans yang sudah dia anggap teman juga tidak.

"Tepatnya sejak para wartawan itu memberitakan Jira hilang dari rumah sakit." Jihoon sudah rapikan makanan tersebut ke dalam mangkuk. Pria itu berpamitan pada seseorang di seberang telepon itu. Meletakkannya di saku celana dan hendak membawa ke dua piring itu. Tapi belum sampai Jihoon mengangkat, wajahnya terkejut melihat Jira yang sedang berdiri menghadapnya.

Masih berusaha tenang dan berpikir positif, Jihoon bertanya, "Kau mendengar semuanya?"

Jira hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Lalu lanjut menghampiri pria itu dan menggantikannya membawa piring-piring itu ke arah meja makan. Jihoon cukup mengekor di belakangnya sambil meneguk air liur karena takut Jira menanyakan kejadian sebelum ingatannya dipaksa hilang. Jihoon memang sengaja menyembunyikan bagian itu. Tapi jika Jira sudah bertanya, mau bagaimana lagi?

Jihoon duduk dengan tegang sambil memberikan segelas air pada Jira. Gadis itu hanya menjawab dengan seadanya. Apa yang dipikirkannya? Sudah setahun tidak bertemu, Jihoon jadi sedikit bingung membaca ekspresinya. Apalagi dengan isi pikirannya yang berbeda.

"Kenapa kau melihatku begitu?" Jihoon menampilkan semu merah karena tertangkap basah. Jira tersenyum dan tertawa ringan. Memakan sarapan yang sudah dibelikan seseorang itu setelah mengucapkan selamat makan.

Pria itu mengelak dan ikut makan dalam diam. Awalnya Jira tidak mau menyinggungnya. Namun dadanya terasa mengganjal. Dia tidak bisa mengabaikannya, meski dia ingin.

"Woozi-ya.."

"Aku jadi takut kau memanggilku." Jira terkekeh. Tersedak sesaat karena tiba-tiba dibuat tertawa.

Jihoon menyerahkan air minum. Berkata 'maaf' dengan sangat canggung. Jira tersenyum lebar. Begitu takutnya aku menanyakan ini? Tanya Jira dalam hati.

"Kau terlihat sangat tegang. Makanmu tidak akan tenang jika tegang begitu. Aku tidak akan tanya macam-macam." Kata Jira. Membuat gerakan seakan mengunci bibirnya. Memamerkan senyumnya sesaat, sebelum lanjut makan.

Meskipun penasaran, mungkin Jira harus memendamnya. Ada seseorang yang terlampau khawatir jika dia mengingat masa terkelamnya. Seseorang yang membuat Jira ingin mengingat masa lalunya, terlebih bagian kisah cinta mereka. Dia ingin mengingat bagian itu saja.

MelodyWhere stories live. Discover now