Bab 9. Lupakan Saja

76 20 13
                                    

"Senja mengajarkanku tentang artinya menunggu, menunggu sesuatu yang belum pasti akan selalu ada untukku. Sebab dia akan pergi lagi meninggalkanku sendiri, ditengah gelapnya jelaga alam."
-Nadya Aira Khairi- 

Adzan Ashar berkumandang. Semua santri salat ashar berjamaah di masjid. Adnan yang menjadi imamnya. Perempuan salatnya diatas tangga masjid. Dan laki-laki bersama imam. Karena lawan jenis tidak ada yang boleh bersentuhan ataupun bertatapan. Adnan membacakan surat  Al-Fatihah dan surat-surat pendek. Selesai sudah salat berjamaah para santri kembali kedalam kelasnya masing-masing.

"Nad, habis ini kita belajar membaca Al-Qur'an, kamu bisa kan Nad?" Siti bertanya pada Nadya.

"Bisa, cuman belum tahu panjang pendeng, mahraj khurufnya." Nadya menjawabnya dengan jujur.

"Oo! Yasudah nanti juga kamu diajarin Nad. Jangan putus asa ya! Ganbatte!" Sintia menyemangati Nadya.

"Iya." jawab Nadya singkat.

"Eh, tunggu Nad, itu ustadz Adnan sama siapa?" Siti memicingkan matanya.

"Mana gue tahu, emang gue emaknya." kata Nadya—dengan tawanya yang receh.

"Bisa aja kamu Nad." Sintia memukul bahu Nadya pelan.

"Hehe." Nadya menyengir.

Siti sangat penasaran, siapa kedua orang tua paruh baya itu? Siti mengajak Nadya dan Sintia menguping pembicaraan Adnan dan Orang tua itu.

"Ayo dengerin Nad, Sin, aku kepo, siapa tahu ini info bagus buat kamu Nad." mereka bertiga menguping pembicaran Adnan.

"Jadi, bagimana Nak Adnan? Apakah Nak Adnan bersedia menikah dengan anak kami Musdalifah?" tanya kedua orang tau tersebut.

"Insya Allah, saya perlu berpikir Pak, Bu. Mohon pengertiannya." Adnan memberikan penjelasan.

"Baiklah Nak, jika sudah siap kabari kamu." kedua orang tua tersebut berlalu pergi.

Nadya akhirnya mengerti, setelah mendengar percakapan kemarin. Nadya merasa ia harus menjauhi Adnan demi kebaikan dirinya. Nadya harus terbiasa tanpa memikirkan Adnan. Mulai sekarang Nadya akan berhenti memaksakan kehendaknya. Cinta memang tak bisa dipaksakan. Namun, cinta bertepuk sebelah tangan lebih menyakitkan. Lebih baik dicintai, daripada mencintai.

"Sial, seharusnya gue nggak boleh baper. Kenapa coba gue bodoh banget! Ah! Semua orang memang brengsek." Nadya mendengus kesal, ia berbicara sendiri ditaman yang sepi.

"Nad, kamu ngapain disini sendiri?" tanya Sarah—tiba-tiba-tiba muncul didepan Nadya.

"Eh enggak Umi, Nadya cuman kangen sama Papa aja." Nadya mengelap air matanya.

"Umi kira kamu lagi patah hati." Sarah bercanda, sedikit mencairkan suasana.

"Nggak Umi, masa iya masih kecil udah jatuh cinta." Nadya beralasan.

"Yasudah, kalau kamu udah tenang, kembali ke pesantren." Sarah mengerti perasaan Nadya. Sarah tahu ada sesuatu yang Nadya sembunyikan. Namun sarah membiarkannya. Nanti juga Nadya bakalan cerita sendiri.

"Iya Umi." Nadya tersenyum seulas.

Nadya menghirup udara segar. Pikirannya kembali tenang, Nadya berjalan keruangan kelasnya. Setibanya dikelas Nadya melihat Adnan yang sedang mengabsen data santri. Adnan tersenyum ke arah Nadya. Tapi, Nadya tak membalasnya. Nadya cuek pada Adnan.

Rumah Singgah Kean Donde viven las historias. Descúbrelo ahora