BAB 1 DALAM ISTANA ES

39 5 1
                                    

Barangkali aku memang anak durhaka. Aku tidak menyayangi ibuku sebagaimana seharusnya seorang anak menyayangi ibunya. Saat-saat sendiri seperti ini lebih menyenangkan dibandingkan saat Ibu ada bersamaku. Semoga aku tidak akan dikutuk menjadi batu jika dia tahu perasaanku ini. Semoga dia tidak pernah tahu. Semoga dia tahu kemudian membuangku. Oh, jangan, lebih baik Ibu tidak tahu saja. Bukankah Ibu memang tidak pernah mau tahu?

Aku tidak tahu apa penyebabnya. Ibu orang yang baik, kurasa Ibu menyayangiku. Dia tidak pernah absen berkunjung kemari. Membawakan apapun yang aku minta. Buku-buku cerita, peralatan dan perlengkapan menjahit, kain terbaik, jamur truffle yang lezat, dan barang-barang lain yang aku butuhkan untuk sekadar mengisi waktu terang yang bisa berlangsung sangat lama. Hidup sendiri kadang-kadang membosankan jika kau kehabisan hal untuk dilakukan.

Ibu seharusnya sudah sampai kemarin sore untuk membawakanku sekuntum mawar merah yang diawetkan dalam toples kaca. Mawar merah seperti dalam dongeng Beauty and The Beast. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi padaku ketika nanti kelopak terakhir gugur. Apakah aku juga akan menjadi makhluk menyedihkan selamanya?

Ibu bilang dunia luar terlalu berbahaya untukku. Banyak monster raksasa berwarna hijau yang akan merebusku hidup-hidup. Banyak beruang kutup kelaparan yang takkan segan menjadikanku santapan mereka karena ikan di laut sudah langka. Terlebih banyak makhluk berkepala manusia dengan senyum semanis madu tapi mempunyai hati berwarna legam. Makhluk mirip manusia ini lebih menakutkan dari semua makhluk dalam negeri dongeng.

Intinya dunia luar tidak akan membiarkanku mati dengan damai. Aku akan merasakan kesakitan yang sangat parah hingga kematian pun tidak akan menghilangkan rasa sakitnya. Jika aku tetap di sini dan menjadi anak yang baik, Ibu akan memenuhi segala kebutuhanku. Aku aman, damai dan bahagia. Itu kata ibuku. Karena aku anak durhaka yang sedang berusaha menjadi anak yang penurut, aku ikuti keinginan Ibu. Paling tidak aku hanya akan mati bosan, meskipun sebenarnya aku penarasan rasanya mati dimangsa beruang.

Seringkali ketika berendam air hangat sembari menikmati bias cahaya biru di langit-langit, aku melihat diriku melangkah keluar dari istana. Aku akan mengenakan pakaian khusus yang sudah aku buat sendiri. Saat ini aku menyembunyikannya di ruang rahasia agar Ibu tidak tahu. Meskipun sebenarnya jika Ibu tahu tentang gaun itu, Ibu tidak akan peduli aku akan memakainya untuk apa. Gaun berwarna ungu tua dari sutra murbey dan syal rubah kutup coklat kemerahan untuk menjagaku tetap hangat. Tak lupa aku akan membawa belati kecil dari batu obsidian berhias amethys ungu yang juga buatanku. Masih perlu diasah lagi tapi sudah cukup bisa digunakan untuk melukai. Aku pernah mencobanya sendiri.

Rasanya itu saja cukup. Barang-barang lain bisa aku tinggalkan. Aku tidak suka membawa beban berat. Mengenai perut, ada banyak makanan di luar sana, telur bebek, ikan paus, akar tanaman, burung-burung. Saat membaca buku tentang cara bertahan hidup di alam bebas semuanya tampak mudah. Aku akan pergi dari sini dengan ringan, mengikuti kemana matahari pergi, menuruni gunung dan berhadapan dengan para makhluk yang diceritakan Ibu.

Calla Lily seorang petualang. Bayangan itu memberiku euforia. Jantungku melompat-lompat, menimbulkan suara debum dalam setiap rongga tubuhku. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkannya sampai aroma telur busuk dari air tempatku berendam menarikku kembali ke kenyataan.

Aku tidak bisa menjadikannya kenyataan karena aku sangat menyadari bukan dunia luar yang berbahaya untukku, melainkan aku. Aku lah monster yang dimaksud ibu. Aku lah si Beast yang menakutkan. Saat aku bercermin dan memandang wajahku yang pucat seputih salju, iris mataku yang berbeda warna, melihat darah biru yang mengalir dalam urat nadiku, aku tahu aku lah ancaman bagi dunia luar. Kata Ibu darahku mengandung semacam virus berbahaya yang bisa menghancurkan dunia. Kukira Ibu hanya menakut-nakutiku saja, sampai suatu hari Ibu mengambil setetes darahku dan memberikannya kepada rubah kutup. Rubah itu awalnya diam saja. Beberapa jam kemudian dia tak mampu berdiri kemudian mati dalam diam. Ibu mengawetkan dagingnya dan memberikan kulitnya kepadaku untuk dijadikan syal.

ROYAL BLOODWhere stories live. Discover now