BAB 3 PERKENALAN MANIS

34 4 7
                                    

"Aaaaarg!"

Astaga keras sekali teriakkannya, mengagetkan saja. Telur burung Hitam yang hendak aku rebus pecah begitu saja di lantai. Padahal telur berwarna turquoise ini sedang langka dan merupakan stok satu-satunya yang aku miliki. Menyebalkan sekali. Terpaksa menu sarapan kali ini hanya domba beku saja. Mungkin dengan kacang polong kaleng dan sup. Manusia itu pasti sudah bangun. Sebaiknya aku bawakan makanan sebelum dia berteriak lebih kencang.

Sebelum masuk ke kamar, aku mengintipnya dari luar. Kulihat dia sedang meronta berusaha melepaskan ikatan di kaki dan tangannya. Begitu melihatku masuk dia berhenti bergerak, terpaku. Hanya sepasang mata coklat sipit yang mengikuti ke mana langkahku pergi. Aku mendengar dia berguman, semacam mengatakan, "Apa aku di surga?"

Mungkin dia kaget melihat aku, yang notabene berwarna putih dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kebetulan juga aku sedang mengenakan gaun putih panjang dan mantel beruang kutup. Barangkali dia heran, atau takut. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya yang campur aduk itu. Jika memang karena aku, seharusnya dia bertanya apakah dia sudah berada di neraka, bukannya surga. Tempat ini sama sekali tidak mirip surga. Aku tak lebih dari penjelmaan sosok hantu atau siluman atau apalah, yang pasti bukan malaikat. Yang lebih tolol lagi, kalau dia berada di surga dia tidak akan terikat seperti itu.

Eh tunggu dulu. Aku berhenti melangkah, berhenti berkedip. Surga? Dia bilang surga? Bukan heaven, paradise, cielo, cheongug, tiāntáng atau bahasa yang lain. Dia sungguh bilang surga. Meskipun lirih dan lebih menyerupai suara lebah yang terbang melintas, tapi aku yakin dia tadi berbicara menggunakan bahasa Ibu --bahasa kami. Aku hampir saja melepaskan nampan kristal berisi sarapan yang kubawa. Untungnya aku masih bisa menguasai diri dari terlalu bersemangat. Siapa manusia ini? Bagaimana tiba-tiba dia bisa tergeletak di kolam berendamku? Dan sekarang berbicara dengan bahasa itu?

Mulutnya masih menganga ketika kuletakkan nampan di nakas kecil di samping tempatnya terikat. Keputusanku untuk mengikatnya dan membuatkan sarapan sudah benar. Aku harus aman tetapi dia juga harus hidup. Paling tidak sampai aku mendapat semua jawaban yang aku mau.

Bola matanya beralih ke makanan. Dia menelan ludah dengan keras sampai jakunnya terjun bebas dan naik kembali sama cepatnya, tapi kemudian menatapku lagi. Aku langsung memalingkan muka. Menghindari kontak mata yang terlalu lama akan baik untukku. Aku tidak mau dia membaca ketakutan, kekhawatiran, dan kelemahan yang mungkin ada pada mataku.

"Thank you. Terima kasih." Tiba-tiba dia memecah keheningan. "Apa kau mengerti kata-kataku? Kau yang sudah menolong dan merawatku bukan? Aku tidak akan menyakiti malaikat yang telah menyelamatkan nyawaku. Jadi, bisakah kau lepaskan ikatan ini, please?"

Dia menghempuskan napas panjang dan tampak putus asa karena aku hanya terpaku di tempatku. Kemudian dia mencoba menggunakan bahasa isyarat dengan menggerak-nggerakkan telapak tangannya dan mengeluarkan suara-suara aneh. Aku tidak bisa menahan tawa. Sepertinya dia bukan jenis manusia palsu yang sering dibicarakan Ibu. Aku mengambil risiko besar dengan membuka ikatan di kedua tangan dan kakinya.

"Terima kasih. Untuk gaunnya juga. Ini sangat, --cocok." Ekspresi wajahnya sangat lucu saat mendapati dirinya berpakain gaun panjang warna pink yang aku pinjamkan. Dengan wajah memohon sedikit memaksa dia bilang,"Tidak adakah pakaian lain, paling tidak warna lain?"

Dia mengumpat kecil, lebih kepada dirinya sendiri dan nasibnya.

Perutku begah menahan tawa. Sepagi ini dan aku sudah tertawa berulang kali. Rasanya menyenangkan. Aku hampir melupakan bagaimana rasanya bahagia. Ternyata ada teman itu tidak seburuk yang Ibu katakan.

"Calla." Aku berucap lirih.

"Apa?" Lagi-lagi dia memasang wajah keheranan yang menggemaskan. Mungkin itu sudah menjadi bakatnya sejak lahir.

"Namaku. Calla Lily."

"Kau, mengerti bahasaku?"

"Aku juga ingin tahu itu, bagaimana manusia sepertimu berbahasa sepertiku."

"Well, ya, itu, anu, ehmm, sebelum memulai perkenalannya, bisakah kita makan dulu?" Dia mengakhiri perkataannya dengan menggigit bibir dan menelan ludah dengan keras lagi. Aku tak bisa menahan tawa. Kubiarkan dia makan dengan lahap dan menghabiskan semua sarapan. Entahlah, aku sudah merasa kenyang hanya dengan melihatnya memaksakan masuk daging domba hasil fermentasiku ke dalam mulutnya yang telah penuh. Sambil mengunyah, dia menjulurkan tangan ke arahku. "Aku Yong. Senang bertemu denganmu, Calla Lily."

Dengan hati-hati aku menyambut jabatan tangannya itu. Aku merasa seperti tersengat. Ada sesuatu yang menggelitik di telapak tangan. Sesuatu yang hangat, menjalar ke seluruh tubuhku bersama aliran darah. Begitu sampai ke jantung, sengatan itu semakin hebat, hampir membuat jantung meledak. Aku segera melepaskan genggamannya sebelum istana es-ku mencair dan runtuh, sebelum aku sendiri meleleh ke lantai.

"By the way, makanan ini enak . Daging apa ini? Kau yang memasaknya?"

"Itu daging domba yang disimpan selama 10 bulan. Jika pengertian memasak adalah menaruh bahan makanan di atas api, maka makanan itu tidak dimasak."

Yong berhenti mengunyah. Sepertinya dia baru merasakan makanan di dalam mulutnya dan sedang menimbang-nimbang untuk memuntahkan atau menelan saja daging berlumut itu. " Hmm, tetap enak meski cara mengolahnya tidak meyakinkan."

"Lanjutkan saja makannya. Aku akan coba membuatkan pakaian untukmu karena pakaianmu sudah tidak mungkin dipakai lagi."

"Wah, terima kasih, tapi tolong carikan aku warna lain."

"Aku tidak janji." 


ROYAL BLOODWhere stories live. Discover now