BAB 4 BEAUTIFUL IDEA

13 2 0
                                    


    Ketakutan dan was-was telah menghilang entah kemana, berganti rasa nyaman yang tidak pernah aku rasakan saat bersama Ibu. Hanya dalam waktu dua hari saja aku bersamanya dan enam belas tahun kesepian tidak berarti apa-apa. Dia baik dan menyenangkan Dia juga banyak bicara. Yang pasti, dia tidak melihatku dengan pandangan aneh seperti Ibu.

     "Sekali lagi terima kasih. Aku mungkin sudah berakhir menjadi patung es buruk rupa jika tidak kau selamatkan." Yong telah mendapatkan pakaiannya yang aku jahit dari kain sutra murbey sisa gaunku. Meski tidak ukur badan dan hanya menjahit baju sederhana tapi pas sekali dipakai olehnya. Tentu saja jika dibandingkan dengan gaun pink yang ia kenakan tadi, baju ini jauh lebih maskulin.

     Kami duduk berbincang di tepi kolam berendam, tempat terhangat yang ada di istanaku. Dia mencelupkan kedua kakinya ke air untuk menyerap panasnya. Dia bahkan sama sekali tidak terganggu dengan aroma telur busuk dari air itu. Hidung memang biasanya begitu, saat kau memaksakan menghidu bau apapun, sedap maupun tidak, lama-lama hidung akan terbiasa dan menganggapnya aroma biasa.

     "Aku terpisah dari rombongan saat menyusuri gua es," lanjut Yong. " Ada beberapa lubang pintu dan aku rasa aku mengambil pintu yang berbeda dengan mereka. Alat komunikasi mati semua. Saat sadar tidak ada orang lain di lorong yang kupilih, aku berjalan kembali. Alih-alih sampai di tempat semula, aku malah tersesat semakin jauh dan udara semakin dingin. Ditambah aku terjerembab di aliran air sepanjang gua yang aku susuri. Aku sudah kehilangan harapan saat itu, saat tubuhku membeku dan tak bisa bernapas."

     Yong memandang sekeliling,ke atap dan dinding istana yang membiaskan cahaya matahari menjadi warna biru terang kemudian menghentikan tatapannya padaku. "Tempat ini adalah keajaiban. Dan ini, air panas di dalam gua es? Tidak bisa dipercaya." Yong menggeleng-gelengkan kepala dan membuat rambut coklat yang berjulai di dahinya memancarkan gelombang kemilau.

     "Menurutku tidak ada yang istimewa. Ratusan gunung api memanaskan air, udara yang terlalu dingin di atas menciptakan es. Hanya begitu. Memang terkesan seperti gunung apinya salah tempat, iya 'kan? Seperti aku." Aku benci kenapa harus menjadi melankolis di hadapan orang asing.

     "Kau pasti tidak tahu kalau kau juga suatu keajaiban," katanya. Aku terbelalak, tidak pernah mengira dia akan bicara seperti itu. Aku juga tidak mengira hatiku akan dipenuhi bunga-bunga hanya dengan mendengar kata-kata yang terucap dari orang asing. 

    "Sekarang giliranmu," ucapnya singkat.

     "Apa?"

     "Cerita."

     "Tidak ada yang bisa diceritakan."

     "Bagaimana kau bisa hidup di sini, dengan siapa kau tinggal, bagaimana caramu menjalani hari-hari, dan lainnya. Apa pun, aku mau tahu semua."

     "Kenapa kau mau tahu?"

     "Karena kamu penyelamatku." Senyum kecilnya membuat dadaku berdesir tapi tak juga membuat mulutku berucap sesuatu. Tak ada yang pantas diceritakan tentang aku, terlebih tentang bahaya yang bisa mengancamnya. Seandainya dia tahu aku adalah racun berjalan, dia tidak akan lagi menyebutku penyelamatnya.

     Yong tiba-tiba terperanjat, "Eh di mana ranselku? Kau menyimpannya?"

     "Tidak. Kau tidak membawa apa-apa. Seandainya ada ransel, aku pasti sudah akan mencari bajumu dan kau tidak perlu mengenakan gaunku."

     Yong mengacak-acak ramput yang menutupi dahinya. "Ransel itu pasti tertinggal di suatu tempat yang sudah kulewati. Barangkali jika aku menyusuri jalan itu lagi, aku bisa menemukannya. Kau pasti hafal seluk-bekuk gua ini, 'kan? Tolong bantu aku mencari ranselku. Aku sangat membutuhkannya."

     Aku hanya bisa menggigit bibir. "Maaf, tapi aku saja tidak tahu ada jalan di sana." Aku menunjuk sebuah celah di depan kami duduk, tempat yang kemungkinan adalah jalan masuk Yong ke kolam berendamku.

     Mata yong melebar, mulutnya menganga.

     "Setahuku jalan masuk kemari hanya ada satu, di depan. Kurasa ibuku menguncinya dari luar meski aku tak pernah mencoba membukanya," jelasku. Matanya semakin melebar, memamerkan iris coklat muda yang menarikku jauh ke dalam lubang hitam di tengahnya.

     "Kau tinggal bersama ibumu?"

     "Ibu hanya datang sekali dalam sebulan. Selebihnya aku sendiri."

     "Dan kau tidak pernah sekali pun keluar dari sini?"

     Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Seandainya saja dia tahu betapa inginnya aku pergi. Aku ingin merasakan hangatnya matahari saat berjemur di pantai, menghidu bunga-bunga yang tumbuh di tanah, berjalan-jalan di kota dan banyak hal lain yang selama ini hanya bisa aku lihat di selembar layar. Namun betapa pun inginnya aku, aku tidak bisa melakukan itu. Aku bukanlah keajaiban seperti yang Yong bilang. Dia juga tidak tahu seperti apa Ibuku jika marah.

     "Calla," ucap Yong sembari menatap tajam ke arahku, "Ikutlah denganku."

     Dalam kedua irisnya aku melihat tempat-tempat yang selama ini ingin aku datangi. Aku melihat diriku memakai gaun yang sudah aku persiapkan untuk melarikan diri, menjalani setiap rencana, terbebas dari Ibu dan tak pernah kembali. Kata iya telah menggulir di ujung lidahku tetapi harus tertelan lagi saat aku mendengar suara teriakan dari luar.

     "Calla! Sayang!"


ROYAL BLOODWhere stories live. Discover now