BAB 8 BEBAS

12 3 0
                                    

     Kami mulai berjalan menjauhi istana. Yong menggandeng tanganku dengan erat. Mungkin dia khawatir aku akan berubah pikiran lagi. Semakin jauh kami melangkah, sesak di dada semakin berkurang. Aku mulai menemukan keberanian dan percaya Yong akan menjagaku dari semua hal yang membuatku takut.

     Kami menyusuri lorong panjang. Lebih sempit dari istana tetapi dindingnya semakin lama bersinar semakin terang.

     "Mudah-mudahan tidak ada lorong lain. Waktu itu aku sudah sangat kedinginan jadi tidak begitu memperhatikan jalan yang kulalui. Jika hanya ada lorong ini saja kemungkinan kita bisa menemukan ranselku." Yong berjalan cepat sekali. Aku sampai merasa seperti diseret. Satu langkahnya sama dengan dua langkahku. Aku berusaha mengimbanginya tetapi akhirnya aku terjatuh juga. Yong sangat terkejut dan merasa bersalah. Dia berusaha menangkapku tetapi aku terlanjur tersungkur. Telapak tanganku mengenai batu yang runcing permukaannya sehingga sedikit tergores. Yong segera membantuku berdiri dan meraih tanganku.

     "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Saat mengecek luka di telapak tanganku Yong terpaku. Matanya tak berkedip beberapa waktu dan cengkramanannya kuat sekali. Kurasa dia terkejut melihat beberapa tetes darah yang keluar dari luka. Anehnya dia tidak bertanya maupun berkomentar apapun tentang warnanya yang tidak biasa. Dia hanya bilang bahwa itu hanya luka kecil sambil meniup-niupnya. Aku lega dia tidak menganggapku aneh. Tetapi dadaku sesak lagi, penuh oleh rasa bahagia.

     Kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Yong yang berusaha memelankan langkah agar aku tidak kewalahan. Lorong ini seperti tidak ada ujungnya. Meskipun belum pernah berjalan sejauh ini tetapi aku sama sekali tidak merasa lelah. Justru Yong yang tampak kesulitan bernapas karena udara terlalu dingin untuknya.

     Aku mendengar gemericik air. Yong berlari mendahuluiku.

     "Ini tempatku terjatuh. Pasti ranselnya aku tinggalkan di sekitar sini." katanya penuh harapan. "Sayangnya di seberang aliran air terdapat dua lorong. Kita tidak mungkin berpencar. Tidak mungkin mengandalkan keberentungan juga, 'kan?"

     "Coba kau ingat-ingat lagi, mungkin ada sesuatu yang kau lewatkan yang bisa menjadi petunjuk. Dindingnya, lantainya atau apapun. Lihatlah dua lorong ini berbeda, "kan. Yang satu lebih gelap dan lantainya terendam air. Air ini mengalir dari sana." Aku coba membantu Yong berpikir jernih.

     "Kau benar. Saat itu aku menyusuri gua yang ada airnya. Kita ambil jalan yang itu. Semoga kita bisa melewatinya dengan selamat."

     Untunglah tebakan kami benar. Baru sebentar berjalan kami sudah menemukan apa yang Yong cari, sebuah ransel hitam yang besar, panjang dan yang pasti berat. Leganya aku tidak jadi membawa semua barang yang sudah kupersiapkan.

     "Sekarang kita bisa pulang, Calla. Tetapi kita harus keluar dari gua dulu. Alat ini tidak berfungsi di sini." Yong menunjukkan sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang berwarna hitam dari logam. Aku belum pernah melihatnya dan tidak punya ide tentang kegunaannya. "Ini yang akan membawa kita pulang," lanjutnya.

     Kami kembali berjalan. Dinding gua perlahan mulai berwarna biru terang lagi. Air di lantai juga sudah surut. Aku kembali untuk mengambil air dari dinding batu di mana sungai kecil di bawah kami tadi berasal. Rasanya segar dan manis, pasti kandungan mineralnya lebih banyak dari air di istana. Aku juga mengambil air untuk Yong. Dia tampak kelelahan. Uap tebal keluar dari mulutnya saat dia menghembuskan napas kuat-kuat.

     "Sudah berapa lama kita berjalan? Apa kau perlu istirahat dulu, Calla?" tanya Yong.

     Aku baik-baik saja tetapi Yong tidak. Jadi aku bilang padanya akan lebih baik jika berhenti sebentar dan mengisi perut.

     "Kita jalan sedikit lagi, siapa tahu di depan ada tempat kering untuk duduk."

     Mungkin kami memang sedang beruntung. Tidak sampai sepuluh meter kami kami tiba di sebuah tempat yang lumayan luas. Lantai basaltnya bisa kami gunakan untuk tempat melepas lelah. Aku membuka satu toples bekal dan Yong langsung memakannya dengan lahap.

     Tempat itu seperti pusat dari gua. Terdapat lima lorong yang mengelilingi tempat tersebut. "Aku terpisah dari rombongan di sini. Menurutmu mana jalan keluarnya?"

     "Yang pasti bukan yang itu." Aku menunjuk lorong yang kami lalui tadi. Yong menyentuh kepalaku dan tertawa. Aku dihinggapi perasaan aneh lagi. Rasanya aku telah merelakan seluruh pedihku untuk momen seperti ini.

     Wajah Yong masih pucat meski telah menghabiskan makanannya. Aku hkawatir dia akan terserang hipotermia lagi tetapi malah dia yang khawatir terhadapku. Berulang kali dia memberi semangat dan bertanya apa tidak apa-apa jika melanjutkan perjalanan. Ya, wajahku memang lebih pucat darinya tetapi warna kulitku memang begitu, bukan karena kelelahan. Aku meyakinkan dia bahwa aku kuat. Semakin cepat keluar dari sini semakin baik.

     Yong berusaha terlihat kuat dan mulai membuat pertimbangan lorong mana yang mesti kami ambil. Dan kami memilih jalan yang paling terang. Mengikuti cahaya menjadi semboyan kami sekarang.

     Jalan di gua itu menanjak dan menyempit. Pikiranku sudah dipenuhi kekhawatiran mengenai kemungkinan salah jalan. Tetapi keberuntungan masih berada di pihak kami. Di ujung undakan aku melihat setitik cahaya terang. Semakin mendaki cahayanya semakin terang. Mataku rasanya seperti di tusuk benda tajam. Aku tak bisa melihat dengan baik.

     Yong berlari mendahuluiku dan menghilang diantara cahaya. Dia berteriak penuh semangat, "Akhirnya!"

     Aku memejamkan mata dan harus bertopang pada dinding untuk terus mendaki. Yong kembali untuk menjemputku. Dia bilang mataku hanya sakit sementara. Nanti jika sudah di luar, lama-lama akan biasa. Hanya butuh sedikit penyesuaian.

     Yong menggandeng tanganku sementara aku berjalan sengan mata tertutup. Tiba-tiba kami berhenti. Udara yang lebih hangat membelai wajahku. Aku menghirup dalam-dalam dan aku menghidu aroma manis dan segar.

     "Buka matamu pelan-pelan," bisik Yong. Aku mencobanya tapi tidak bisa. Perih sekali. Dia kemudian memasang tudung mantel di kepalaku. Cahaya terhalau dan aku bisa membuka mata. "Kamu bebas, Calla" lanjutnya.



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 01, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ROYAL BLOODWhere stories live. Discover now