BAB 6 KEPUTUSAN BESAR

11 2 0
                                    

     "Apa maksudmu bertanya begitu? Tentu saja dia Ibuku," jawabku tersinggung meskipun tidak hanya satu dua kali aku mempertanyakan hal yang sama kepada diri sendiri.

     "Aku memang baru mengenalmu dua hari dan baru melihat orang yang kau sebut Ibu itu beberapa menit saja. Tetapi dari apa yang dia perlakukan terhadapmu, aku ragu dia benar-benar ibumu."

     "Memangnya seperti apa seharusnya seorang ibu itu?"

     "Kau harus bertemu ibuku agar kau tahu seperti apa seorang ibu memperlakukan anaknya. Maksudku, aku tidak ingin membanding-bandingkan. Tetapi coba kau pikir, dia datang sebentar saja dan hanya untuk mengambil apa tadi, darahmu? Apa kau serius?"

     "Biasanya Ibu akan menginap dua-tiga hari. Kali ini memang aku yang menginginkan dia pergi agar kau tidak ketahuan. Aku sedang berusaha menyelamatkanmu, apa kau mengerti?"

     "Ini lebih aneh lagi. Bukankah Ibumu bisa menolongku pulang? Dia menggunakan pesawat pribadi, 'kan? Kenapa kau sangat takut? Dalam hatimu, kau juga tahu 'kan jika hal ini tidak benar. Ada yang salah dengan hidupmu. Dengan berbagai alasan yang dia gunakan untuk mencegahmu pergi, kau tetap meragukan semua itu, bukan? Jujurlah, Calla." Yong mencengkeram kedua lenganku dengan sangat kuat. Tatapannya tajam menusuk hati. Aku merasa dia benar tetapi aku tidak punya keberanian untuk mengakui. Aku tidak sanggup lagi menatap matanya. Dia pun kemudian melonggarkan genggamannya.

     "Kau tidak tahu apa-apa tentang aku, Yong. Aku juga tidak mengenalmu. Jika kau sudah cukup kuat, sebaiknya kau segera pergi. Aku akan tetap di sini menjalani hidupku seperti biasanya."

     "Kau benar, kita memang belum begitu mengenal. Aku yakin kau pun tidak mengenal Ibumu. Yang paling parah adalah kau sama sekali tidak tertarik untuk mencari tahu."

     "Sudah, aku mohon jangan membahas hal ini lagi. Ibuku benar, aku harus tetap bersembunyi dari dunia. Aku sudah nyaman di sini. Duduklah di kolam lagi, akan aku siapkan makanan untuk kita."

     Kami makan dalam keheningan. Tatapnya menerawang, entah apa yang sedang Yong pikirkan. Aku berhutang beberapa penjelasan tetapi sepertinya dia sudah tidak tertarik lagi jadi aku diam. Aku hanya bisa menyajikan daging domba lagi. Masih ada beberapa kaleng sup, tetapi aku memutuskan untuk berhemat. Persediaan makanan menipis, terlebih sekarang ada satu orang lagi yang butuh mengisi perut.

     Dulu Ibu tidak pernah membiarkan lemari makanan kosong. Saat persediaan masih banyak pun, Ibu selalu membawakan lagi setiap bulannya. Jika dipikir-pikir Ibu sudah bersikap berbeda sejak bulan lalu. Makanan menipis, terlambat datang, tampak menua dan satu hal lagi. Ibu tidak pernah melupakan pesananku tetapi tadi Ibu datang tanpa membawa apapun, tidak juga mawar dalam toples kaca yang aku inginkan. Apa yang terjadi dengan Ibu? Apa Ibu sedang dalam kesulitan?

     Atau, apa benar yang dikatakan Yong, bahwa Ibu bukan ibuku? Aku adalah seorang putri dari sebuah kerajaan yang diculik dan disekap oleh nenek sihir seperti dalam dongeng. Aku teringat tentang Rapunzel yang dipenjara di dalam kastil dan menggunakan rambutnya untuk melarikan diri. Tetapi di sini yang aku butuhkan bukanlah rambut. Rambutku tidak cukup panjang dan terlalu rapuh untuk menopang seseorang. Aku membutuhkan seekor naga yang akan melelehkan tempat ini. Atau barangkali aku hanya butuh seorang seperti Yong untuk meruntuhkan tembok pertahananku.

     Jika aku adalah sang putri, mungkinkah Yong pangeran berkuda putih yang datang untuk menyelamatkanku? Dia baik, aku pun tak bisa melupakan sensasi-sensasi yang muncul saat dia menatapku. Huh, aku terlalu mengkhayal.

     "Apa yang kau pikirkan?" Yong menyela lamunanku.

     "Tidak ada," jawabku singkat.

     "Kamu senyum-senyum sendiri tetapi kemudian menganggap hal yang membuatmu tersenyum itu tidak mungkin terjadi." Bola mataku nyaris keluar. Aku yakin dia melihat pipiku bersemu biru.

     "Yong, bagaimana kau bisa sampai di sini?" Aku mencoba mengalihkan perhatian.

     "Aku sudah bercerita, 'kan? Aku tersesat dan..."

     "Bukan, maksudku, kau berbicara dengan bahasa yang sama denganku. Bahasa Indonesia, 'kan?"

     "Ya."

     "Dari yang aku tahu, tidak banyak orang di negara lain berbicara dengan bahasa ini. Dan yang pasti, maksudku, aku rasa, aku tidak berada di Indonesia. Jadi bagaimana?"

     "Aku tinggal di Indonesia. Bersama beberapa teman, aku sering keliling dunia. Dan tempat ini memang bukan negara asalku. Kami sedang berpetualang ke dekat kutup utara. Kau bersembunyi di daratan paling dingin setelah Antartika, Calla, pada sebuah titik di bentangan glacier."

     "Jadi utara, ya? Aku berharap ada di selatan. Tebakanku meleset." Aku tersenyum getir. Bukan karena tebakanku salah, aku sedang mentertawakan hidupku yang amat sangat menyedihkan."

     "Ngomong-ngomong," kata Yong sambil mengunyah dagingnya, "untuk manusia yang tinggal di tempat paling sunyi dan paling dingin di bumi, pengetahuanmu lumayan banyak. Apa ibumu yang mengajari? Tolong jangan tersinggung, aku tidak bermaksud menganggapmu seharusnya tidak tahu apa-apa." Ada rasa bersalah terkandung dalam kata-katanya. Dia berhenti mengunyah dan memperhatikanku, menunggu reaksiku."

     "Tidak apa-apa," ujarku menghapus rasa sungkannya. Dia lalu melanjutkan menghaluskan domba yang sempat tertunda di dalam mulutnya. "Kadang-kadang aku menggunakan laptop Ibu jika Ibu sedang berkunjung. Tentu saja di bawah pengawasannya. Ibu menjagaku dari racun-racun dunia yang bisa merusak otak. Jadi apa yang aku tahu masih terbatas."

     "Aku suka kau mulai terbuka. Tadi kau tidak mau bercerita apapun tentang dirimu. Kini aku mulai merasa seperti temanmu."

     Aku menatapnya yang sedang lahap dan lagi-lagi terpesona. Dia melihatku kemudian memelankan kunyahan. "Lama-lama domba berjamur ini enak juga," ucapnya sambil tertawa. Padahal sejak pertama makan, sebelum tahu cara pengolahannya, dia juga sudah doyan.

     "Eh, jika memang bahasa Indonesia jarang digunakan di negara lain, ada kemungkinan ibuku juga berasal dari tempatmu 'kan Yong?"

     "Bisa jadi. Ada kemungkinan dari suriname, tetapi aku tebak orang itu dari Indonesia."

     "Jika aku menemanimu mencari jalan pulang, apa kau mau membantuku mencari tempat tinggal Ibu? Aku rasa jika aku keluar dari sini sebentar saja aku tidak akan membahayakan dunia.

     Yong kemudian menggenggam tanganku. "Tentu saja. Bukankah ini yang dari tadi aku minta darimu? Ikutlah."

     Aku tidak tahu bencana apa yang akan aku timbulkan jika aku keluar. Atau bahaya macam apa yang sudah menungguku. Yang pasti, aku akan meninggalkan istana meski sebentar saja. Ya, tak lebih dari sebulan, sebelum Ibu datang di kunjungan berikutnya. Sebulan saja dan semua akan kembali seperti semula. Lagipula Ibu tidak akan menyadari kepergianku.



ROYAL BLOODWhere stories live. Discover now