BAB 5 IBU PULANG

7 2 0
                                    


     "Oh tidak!" pekikku. Seketika pikiranku kalut. Bagaimana ini? Kenapa Ibu harus datang sekarang? Dan Yong, Ibu tidak boleh sampai melihatnya.

     "Yong kau harus sembunyi!" Aku menarik lengannya sekuat tenaga. Dia tampak bingung dan kalut sama sepertiku dan mencoba melepaskan tanganku.

     "Ada apa? Bukankah itu ibumu?"

     "Justru itu, Ibu tidak boleh tahu kamu ada di sini. Aku mohon ikutlah denganku, kau harus bersembunyi."

     "Tetapi kenapa Calla? Mungkin ibumu bisa menolongku keluar dari sini."

     "Tolong mengertilah Yong, itu tidak akan terjadi. Sekarang sembunyilah." Aku tidak punya waktu untuk memberinya alasan yang masuk akal. Aku masih harus memikirkan di mana sebaiknya dia bersembunyi. Berpikirlah Calla. Dimana, dimana, dimana? Ibu berteriak lagi, terdengar sudah tidak sabar. Aku harus dengan cepat memperhitungkan semua tempat. Hampir tidak ada tempat di mana Ibu tidak akan menemukannya. Kecuali aku bisa menahan Ibu di depan atau di kamarnya. Oh tidak, Ibu tidak boleh ke kamarnya, aku masih belum membereskan apa pun. Baiklah, aku akan berusaha menahan Ibu saja.

     Aku menggeret lengan Yong agar mengikutiku ke ruang di mana aku menyembunyikan kostum pelarianku.

     "Yong, tunggulah di sini sebentar. Jangan keluar. Jangan sampai Ibu melihatmu. Aku mohon. Berjanjilah."

     "Baiklah. Janji. Tetapi kau harus menjelaskannya nanti ada apa sebenarnya antara kau dan ibumu."

     Syukurlah Yong mau menuruti perkataanku. Aku segera berlari ke ruang depan dan menggeret tangga dari baja untuk mendorong pintu yang ada di bagian atas. Ibu tidak kuat mengangkat pintu itu jika tanpa bantuanku.

     Begitu berhasil masuk, Ibu terus mengomel tentang cuaca dan penderitaan yang harus dia alami selama perjalanan.

     "Badai sialan. Kau tahu, Nak, aku mempertaruhkan nyawa demi mengunjungimu. Dinginnya luar biasa sampai aku tak bisa merasakan tubuhku sendiri." Ibu langsung berjalan ke arah kolam berendam tetapi untungnya aku masih sempat meraih tangannya.

     "Duduklah di sini, Bu. Akan aku ambilkan air hangat untukmu." Sepertinya Ibu memang melewati perjalanan yang berat sehingga dia menurut tanpa curiga. Wajahnya juga nampak lelah. Muncul beberapa kerutan di sekitar mata dan mulut yang selama ini tidak pernah aku lihat. Mungkinkah hanya dalam waktu satu bulan dua hari Ibu berubah renta? Barangkali kerutan itu memang sudah ada sejak lama tetapi aku tidak pernah memperhatikannya. Kasihan juga Ibu.

     "Tidak biasanya Ibu terlambat datang kemari."

     "Ah, ya. Pesawat yang menjemput Ibu di bandara kecelakaan karena badai. Sangat sulit mendapatkan pesawat pribadi di sini. Ibu seharusnya tidak boleh terlambat demi kebaikan kita berdua, bukan? Tetapi tidak perlu khawatir, Ibu sudah di sini." Alih-alih mendengarkan Ibu, aku malah salah fokus pada kerutan di tangan Ibu ketika mengambil gelas dariku.

     "Bu, jika begitu sulitnya, kenapa Ibu tidak mengajakku tinggal bersama? Maksudku, tinggal di rumah Ibu yang sebenarnya." Ada kilatan kemarahan di mata Ibu ketika aku mengutarakan pendapatku.

     "Harus berapa kali kita membahas ini, Calla? Ibu hanya berusaha melindungimu dari segala macam bahaya dunia luar. Ibu ingin kamu aman dan damai hidup di sini. Apa ada yang kurang dari yang telah Ibu berikan padamu? Kasih sayang dan segala macam hal yang kau inginkan Ibu usahakan. Satu saja permintaan Ibu dan kau tidak bisa menurutinya?"

     "Maaf Ibu. Aku hanya tidak ingin membuat Ibu susah dengan menempuh perjalanan berbahaya hanya untuk menemuiku."

     "Tentu saja. Kau bukan anak durhaka. Tetaplah seperti itu. Lain kali jangan ada pembicaraan membosankan seperti ini lagi. Sampai kapan pun jawaban Ibu tidak akan pernah berubah. Mengerti?! Oh astaga, kau membuatku semakin cepat tua. Aku tidak bisa lama, persiapkan dirimu."

     Aku kecewa sekaligus lega. Ibu akan segera pergi setelah mendapatkan yang dia inginkan. "Tidak perlu, Bu. Aku sudah mempersiapkannya kemarin. Kulakukan sama persis seperti Ibu dan kusimpan di lemari pendingin."

     "Kau mengambilkan darahmu untuk Ibu? Dengan lintah? Bukankah kau takut pada hewan menggemaskan itu?"

     "Demi Ibu," sahutku lirih. "Aku ingin Ibu menyayangiku."

     "Oh, kau memang anak kesayangan Ibu. Ibu menempatkanmu di sini pun karena Ibu sayang padamu. Kau terlalu berharga untuk diketahui dunia, Sayang. Baiklah, segera ambilkan. Ibu juga ingin beristirahat."

     Aku berlari mencari kantong-kantong beku itu. Hanya ada empat. Aku pasti menjatuhkan satu saat menolong Yong waktu itu. Semoga cukup.

     "Hanya ini?" Ibu Nampak kecewa ketika menerima bulatan hitam kebiruan yang kubawa.

     "Lintahnya hanya tersisa itu Ibu. Maaf."

     "Aku sudah jauh-jauh kemari dan hanya mendapatkan empat? Aku khawatir kesehatanmu akan terpengaruh, Sayang. Racun dalam tubuhmu seharusnya dikeluarkan enam sampai tujuh kantong setiap bulan."

     "Maaf."

     "Sudahlah jangan meminta maaf terus. Coba cari di tas Ibu, sepertinya Ibu membawa persediaan lintah."

     "Bagaimana jika kuganti bulan depan, Bu. Silahkan ambil sebanyak yang Ibu mau. Saat ini aku rasa aku akan baik-baik saja."

     "Baiklah, Sayang. Ibu tidak akan memaksa." Ibu menghembuskan napas tanda mengalah. Ibu memang berbeda. Kali ini tidak ada perdebatan panjang seperti biasa kalau aku membantahnya. Lega rasanya. Terlebih saat Ibu beralasan untuk segera pergi. Aku mengantar Ibu sampai lubang pintu dan tersenyum bahagia saat melepasnya pergi. Aku aman, Yong aman. Ibu tidak curiga sama sekali ada manusia asing di dalam istana.

     Begitu turun tangga Yong sudah ada di belakangku. Aku melompat saking terkejutnya. Dia menatapku iba. "Jadi, Ibumu datang hanya untuk mengambil sesuatu darimu? Apa kau yakin dia benar-benar ibumu?"



ROYAL BLOODWhere stories live. Discover now