BAB 2 TAMU TAK DIUNDANG

31 5 6
                                    

Dalam istana es yang dingin, duniaku tiba-tiba menghangat. Di tempat yang sangat jauh dari peradaban ini, aku bisa bertemu makhluk yang tidak mungkin ada. Bukan rubah, domba, kuda, bukan monster atau dewa-dewa, tapi aku bertemu manusia.

Aku merasakan debaran jantungku mengencang, membuatku hampir tak bisa bernapas. Dia, manusia pertama --ibuku tidak masuk hitungan tentu saja-- yang aku temui. Dari kumis tipis yang memutih tertutup butiran es, aku menebak dia pasti laki-laki, meskipun jika diperhatikan lagi ada garis feminim di wajahnya. Imut seperti perempuan dalam drama Korea yang aku tonton di laptop Ibu. Ah, iya, drama itu. Sayangnya Ibu tidak mengizinkanku memiliki laptop sendiri.

"Selembar layar ini hanya akan mencuci otakmu, Sayang. Ibu ingin agar kamu tidak teracuni hal-hal tidak penting yang akan membuatmu meninggalkan Ibu." Sekali Ibu menolak aku tidak akan meminta lagi, karena memang ada beberapa keinginan yang terlarang.

Aku tergoda untuk menyentuh wajah itu. Nampaknya dia membeku, tetapi masih ada udara keluar dari lubang hidung mancungnya. Syukurlah dia masih hidup. Tanganku menjadi basah, titik-titik es di kumisnya mencair di bawah telapak tanganku. Tiba-tiba dia membuka lebar matanya sehingga membuatku mental dari posisi jongkok ke duduk. Tatapannya membuatku terpaku, tangannya berusaha meraihku tapi aku terlalu takut untuk bergerak. Kurasa tenaganya habis lagi karena dia berhenti menggerakkan tangannya, hanya matanya saja yang masih menatapku melas kemudian menutup lagi tak sadarkan diri.

Apa yang mesti aku lakukan sekarang? Ibu akan marah besar jika tahu ada manusia di sini. Bisa jadi Ibu langsung membunuhnya atau membunuhku, atau bahkan membunuh kami berdua. Jika aku menyeretnya keluar, dia akan mati kedinginan yang berarti aku lah pembunuhnya. Tapi jika aku membantunya, mungkin dia yang akan membunuhku nanti. Aku harus bagaimana ini? Kenapa aku ini, yang dipikirkan hanya tentang pembunuhan dan kematian. Mungkin benar, sebaiknya aku tidak pernah menonton film apapun, terlebih drama. Sekarang lakukan saja apa yang paling kau inginkan, membunuhnya atau menolongnya.

Aku menghentikan otakku dari berpikir dan membiarkan perasaanku yang bekerja. Aku pernah berhasil menyeret seekor domba raksasa, sepertinya dia lebih ringan dari rubah jadi aku tidak akan kesulitan memasukkannya ke kolam berendam. Ternyata aku harus mengeluarkan banyak tenaga untuk itu. Manusia ini lebih berat dari yang aku kira.

Setelah beberapa saat berada di dalam air hangat, wajah manusia itu mulai merona, tidak lagi seputih salju, tidak lagi sepertiku. Warna kulitnya indah sekali, putih kekuningan kemerah-merahan dan bercahaya. Aku sudah belasan tahun berendam tetapi warna kulitku tetap pucat kebiruan, tidak menunjukkan tanda kehidupan.

Aku lelah sekali. Perasaan campur-aduk yang aku alami hari ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terkejut, takut, dan bahagia yang terjadi sekaligus benar-benar menguras tenaga. Jam tidurku pun sudah lewat. Dinding memang masih berwarna biru terang yang menandakan matahari masih memancarkan cahayanya di luar sana, tapi aku yakin sekarang sudah lebih dari jam 10 malam. Tidak ada jam matahari di kolam berendam dan aku terlalu lelah untuk sekedar memastikan tebakanku. Musim panas hampir mencapai puncaknya, jadi matahari takkan tenggelam. Aku tidak suka musim ini, hari akan terasa sangat panjang untuk dihabiskan sendirian. Aku merasa ini bukan tempat yang baik untukku, meski Ibu bilang sebaliknya dan aku coba mempercayainya. Tetap saja aku tak bisa menganggap istana ini sebagai rumah. Irama sirkadian tubuhku tak pernah bisa menyesuaikan dengan nada musim dan cuaca ekstrem di sini.

Sebaiknya aku pindahkan si manusia dari kolam mumpung tenagaku belum habis benar. Tubuhnya sudah cukup hangat. Aku tepuk-tepuk pipi tirusnya tapi dia tetap tidak mau membuka mata, terpaksa aku harus memanggulnya. Dengan susah payah aku letakkan tubuh kurus itu di punggungku. Dia sangat tinggi, barangkali jika dia berdiri tegak aku hanya setinggi ketiaknya. Mau tak mau kakinya tetap terseret di lantai.

Dengan perawakan seperti ini dia akan dengan mudah mengalahkanku. Tapi kan dia sedang sakit, bagaimana dia akan menyakitimu, Calla? Tetap saja, berjaga-jaga itu perlu. Aku tak bisa membiarkannya begitu saja tanpa perlindungan diri. Sebaiknya nanti aku ikat dia. Ya, itu lebih aman. Semoga dia sudah sadar sebelum Ibu datang. Semoga ibu tidak usah datang. Aku rasa Ibu tidak akan datang sekarang, jadi tidak apa-apa jika dia kubaringkan di tempat Ibu. Kamarku terlalu dingin untuknya. Sekarang yang diperlukan manusia ini hanya kehangatan.

Setelah bersusah payah dan menghabiskan tenaga, aku berhasil mendaratkan tubuhnya dengan selamat di tempat tidur Ibu yang beralaskan kulit beruang kutup. Ketika aku hendak bangkit, tiba-tiba tanganku terasa dingin. Dia memegangku. Entah karena takut atau terkejut, aku merasakan aliran panas merambat ke seluruh tubuhku. Aku berhenti bernapas lagi. Hangat yang menyenangkan. Rasa dingin itu hilang. Tangannya menjadi hangat dalam genggamanku. Sehalus mungkin aku menoleh. Matanya terbuka sedikit dan samar aku mendengar dia mengucapkan dua kata dalam bahasa yang kadang digunakan Ibu, "Thank you." Dia melepaskan tanganku dan aku bisa menghembuskan napas kembali.

Dia akan baik-baik saja. Tinggal satu saja masalah yang mesti aku selesaikan. Dia tidak mungkin aku biarkan tidur tanpa pakaian. Segala atribut yang dia kenakan tadi sudah aku lepas menyisakan celana pendek yang lebih cocok dipakai berlibur di tempat yang sinar mataharinya menyengat. Selimut saja tidak cukup, dia harus mengenakan sesuatu.

Aku berlari ke kamar dan kuobrak-abrik seluruh isi lemari, berharap menemukan pakaian yang layak ia kenakan. Kutemukan satu yang sepertinya cocok untuknya, terusan panjang pink.


ROYAL BLOODWhere stories live. Discover now