Part 2

2.9K 261 50
                                    

Hari ini adalah hari pertama bagi Ana yang berstatus sebagai murid baru di SMA Pramudya.

Berbicara tentang SMA Pramudya, ada yang tau sekolah itu?

SMA Pramudya sendiri dikenal sebagai salah satu sekolah unggulan yang bergengsi dan tentu saja menjadi incaran di Jakarta. Banyak orang tua berlomba-lomba untuk memasukkan anaknya ke sekolah ini. Namun, tidak sembarang orang bisa masuk ke sini. Hanya orang-orang beruntung yang bisa bergabung.

Berprestasi, itu adalah syarat utama jika ingin menjadi murid di sekolah ini. Kecuali, jika dibantu oleh orang dalam atau istilahnya masuk lewat jendela. Itu adalah hal mudah untuk dilakukan bagi orang yang ber-uang.

Ana adalah salah satu orang yang beruntung karena bisa bergabung dalam sekolah ini. Tapi, ia harus melewati serangkaian tes baru bisa diterima di sekolah elit ini mulai dari tes dalam hal teori sampai dengan fisik.

Sebenarnya, dirinya bisa saja masuk dengan mudah tanpa harus melewati serangkaian tes itu. Tentu saja dengan bantuan dari koneksi yang dimiliki keluarganya. Tapi hei, ia tidak memerlukan semua itu. Otak dan fisiknya mampu.

Ana dengan cepat turun dari atas motor Naufal saat kendaraan itu sudah sampai di tempat parkir SMA Pramudya.

"Yosh! Hari pertama sekolah, FIGHTING!"  teriak Ana dengan semangat 45 mengepalkan kedua tangannya di udara membuat beberapa siswa-siswi yang lewat menatapnya heran. 

Naufal hanya menggeleng-geleng melihat tingkah tidak tahu malunya gadis itu. Bahkan gadis itu belum melepaskan helmnya. "Itu helm nya dilepas dulu kali, neng," tegurnya

Ana meraba kepalanya dan langsung mengeluarkan cengiran polosnya ketika sadar bahwa helm miliknya masih terpasang "Eh iya, lupa..,"

Ana segera melepaskan helm miliknya dan memberikannya pada Naufal "Jadi kelas aku dimana nih, bang?" tanyanya sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Noh! Di tengah lapangan."

Plak!

"Aw! Sakit, Na," adu Naufal ketika Ana memukul keras kepalanya. Ia mengelus kepalanya yang terasa nyeri.

"Makanya jawab yang bener , bang." cetus Ana.

"Ya lo nanya ke gue, gue mana tau kelas lo dimana," balas Naufal masih dengan ringisannya.

"Kan kirain Abang cenayang, jadi tau,"

"Ngawur. Gue bukan cenayang."

"Terus?"

"Sodaranya." Ana berdecak mendengarnya.

Sungguh pagi ini Ana merasa Naufal sedang menguji kesabaran dirinya. Jiwa bar-bar nya serasa meronta-ronta.

"Tau ah, ngomong sama abang malah bikin mood aku jelek. Mending, aku cari kelasnya sendiri aja," gadis itu pun berjalan pergi meninggalkan Naufal sebelum dirinya gondok akan tingkah laki-laki itu.

Langkah Ana tertahan ketika ada yang menarik ranselnya.

"Eh, kok ditarik sih?!"

Naufal, si pelaku penarikan diam tak menjawab. Ia terus saja menarik Ana ke arah yang berlawanan.

"Abang," rengek Ana.

"Ke ruang guru dulu, Na,"

"Ya tapi gak usah ditarik gini juga, Abang...," protes Ana.

"Bodo!"

***

"Woi! Yang udah ngerjain PR dimohon angkat kaki!"

Suara teriakan bergema di dalam kelas XII IPS 2. Pemilik suara itu adalah Philipus, si laki-laki botak.

"Angkat tangan, bego! kalo angkat kaki kejungkang ntar," sahut Satrio.

"Jangan angkat tangan, ketek lo bau!" balas Philipus keras.

"Ketek gue gak bau ya, anjir! Gue pakai batu tawas," balas Satrio tak terima dengan penghinaan yang telah dilakukan oleh Philipus. Harga dirinya sebagai laki-laki ternodai.

"Pake tawas aja bangga lo," ujar Philipus.
"Gue yang pake rexona biasa aja tuh," lanjut Philipus songong.

"Eh! Jangan salah. Batu tawas tuh gak pernah mengecewakan bukan kaleng-kaleng. Ampuh!" balas Satrio. 

"Kok jadi bahas batu tawas sih tolol?! Gue nyari contekan bukan batu tawas," ucap Philipus gak santai.

"Lo yang yang mulai pe'a. Lo yang bilang ketek gue bau,"

"Peduli setan! Bilang aja siapa yang udah gue mau nyontek!" ujar Philipus dengan tidak sabaran.

"Gue udah..." timpal Morgan yang duduk di pojok kelas membuat Philipus dengan gerakan cepat menoleh kepadanya.

"...soalnya," sambung Morgan di akhiri sebuah tawa garing nya.

Mampus! di php in.

"Bangsat kau ya!" umpat Philipus.

"Apa-apaan nih, pagi-pagi udah pada ribut?" tanya Barka. Cowok itu melangkah masuk bersama dengan Naufal.

"Lo udah ngerjain PR apa belum, Bar?" bukannya menjawab, Philipus malah balik memberikan pertanyaan.

"PR? Ck! Ngerjain PR is not my style." ucap Barka dengan bergaya sok cool dengan menyisir rambutnya dengan jari.

"Najis! Sok banget lo onta!" timpal Naufal yang berdiri di dekatnya.

"Iri bilang sahabat."

"Dih!" Naufal mengacungkan jari tengahnya pada Barka lalu berjalan ke arah bangkunya. 

"Terus ini gue nyontek siapa anjir?" keluh Philipus frustasi. Pasalnya kelas sebentar lagi akan dimulai.

"Harapan kita tinggal tinggal satu orang, Pus." ucap Satrio.

"Siapa tuh?" tanya Philipus penasaran.

"Ya Alder lah. Siapa lagi cuy?!" jawab Satrio "Noh orangnya, panjang umur." lanjutnya menunjuk Alder yang baru saja datang.

Philipus pun berdiri dan menghampiri cowok yang baru datang itu.

"Heyyo, what's up bro? " tanya Philipus sok asik pada Alder.

Alder hanya menatap laki-laki di depannya itu dengan satu alis naik ke atas.

"Lo udah ngerjain PR kan? Bagi-bagi jawaban bisa kali," bujuk Philipus menaik-naikkan alisnya membujuk.

"Berani bayar berapa?" tanya Alder datar.

"Yaelah, masa sama temen sendiri minta bayaran." ucap Philipus sedikit memelas.

Alder tidak membalas perkataan Philipus malah berjalan menuju bangku nya dan duduk di sana. Ia mengambil buku yang ada di dalam tasnya dan menyodorkannya pada Philipus.

Philipus pun dengan senang hati mengambil buku tugas milik Alder, tapi ucapan Alder menghentikannya.

"Satu nomor satu ginjal."



AlderaksaWhere stories live. Discover now