04.5 Waltz | Carat (2/2)

54 9 0
                                    

Inspired from "Don't Listen in Secret (Orchestra Ver.)" by MeiMei Zhu on Youtube

Bagian 2 dari 2

Enjoy! ^^


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Lagu 'ajaib' yang mengundangmu datang ke tempat ini masih dimainkan seakan menjadi ciptaan yang tak berujung, memperdalam sentimenmu hingga membuatmu sedikit kesulitan bernapas. Haru, senang, takjub, dan rindu. Terlalu banyak ekspresi yang ingin kau tunjukkan di satu waktu, mengakibatkan lelehan air mata-lah yang justru mengalir mewakili segalanya.

"Shh, jangan menangis." Jemari kokoh lelaki itu bergerak, menyapu jejak basah yang tercetak pada pipimu. Sensasi dingin yang ditimbulkan oleh kontak fisik itu sungguh kontras dengan kehangatan yang menjalar di dadamu. Senyuman tulus mengembang pada bibirnya, membuat sesak pada dadamu makin membuncah. "Rasanya sakit melihat rembulanku sedih seperti ini."

Jika saja ini kondisi normal, mungkin kau akan menghunuskan pedangmu lantas mengajukan sparring dengannya guna menutupi rona merah yang tercipta. Berapa kalipun mendengar kalimat itu, jantungmu tak kunjung terbiasa. Jika saja ...

Jika saja 'hal itu' tak terjadi, apakah percakapan ini akan tetap terdengar?

Tak ada kalimat balasan yang kau lontarkan, begitu juga dengannya. Lelaki itu menatapmu dalam diam, bibirnya tak letih menampilkan lengkungan penuh ketulusan. Keteduhan melingkupi hatimu, terlebih kala tangan kanan pria itu terjulur di hadapanmu.

Tanpa pikir panjang, kau menyambut tangannya. Seketika kau kembali dalam arus dansa untuk ke sekian kalinya. Namun, kali ini sedikit berbeda. Para pasangan yang semula melangkah beriringan di lantai dansa, perlahan menepi, memberikan panggung hanya untuk kalian berdua. Tatapan penuh rasa takjub dan syukur dilemparkan mereka, diiringi doa serta harapan untukmu serta sosok di hadapanmu.

"Semoga matahari dan rembulan masa depan senantiasa diberkati oleh Tuhan."

Kau menekan bibirmu kuat-kuat, membentuk garis tipis yang dapat membuatmu merasa kebas akibat peredaran darah yang tersendat. Julukan barusan kembali kau dengar setelah sekian lama, mau tak mau menyadarkan identitas dirimu yang dikenal mereka. Pandanganmu kembali memburam, tertutupi oleh air mata.

"Jangan menangis. Air matamu terlalu berharga untuk orang sepertiku."

Pertahananmu nyaris runtuh. Semua rasa yang mengganjal sudah sampai di ujung lidahmu, hanya butuh sentuhan akhir untuk merobohkannya seketika. Kau mendongak cepat, kembali bertatapan dengan manik obsidian yang selalu jadi favoritmu. Namun kali ini, sinar itu sedikit berbeda. Tersirat beban yang begitu dalam, juga sarat akan rasa bersalah. "Kau masih ingat lagu ini?"

Hatimu makin hancur. Bagaimana mungkin kau melupakan iringan penuh makna itu? "Yang Mulia Putra Mahkota—"

Genggaman pada tanganmu terlepas, digantikan oleh rengkuhan yang lebih besar dan menyeluruh. Kedua tangannya melingkar sempurna di tubuhmu. Kepalanya bersandar dengan nyaman pada pundakmu. Putra Mahkota memelukmu dengan erat, seakan takut kau menghilang jika sebentar saja jarak tercipta. "Aku merindukanmu."

[⏸️] Fallin' Flower | Seventeen Oneshot(s)Where stories live. Discover now