Fenomena Akad Jual Beli di Perahu

10 0 0
                                    

Praktik jual beli yang dilakukan oleh masyarakat banjar memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan melakukan akad jual beli di tengah-tengah sungai yang disebut 'Pasar Terapung'. Karena tepat sekali berhubungan dengan geografis banjarmasin yang terkenal dengan sebutan kota seribu sungai. Dalam transaksi di Pasar Terapung tersebut, penjual dan pembeli tetap melakukan akad jual beli sesuai dengan ketentuan hukum Islam, padahal sebenarnya situasi dan kondisi ketika itu tidak memungkinkan untuk transaksi seperti jual beli biasa karena jukung yang mereka gunakan sebagai alat transportasi tersebut digoncang oleh ombak sungai.

Tradisi masyarakat Banjar seperti yang dikemukakan di atas, menjadi fenomena yang unik dan menarik untuk di ulas. Secara simbolik, tradisi dagang orang Banjar dapat dilihat dari sikap mereka ketika memaknai memaknai akad sebagai sesuatu yang sangat prinsip, sehingga mereka menganggap tidak sah suatu transaksi jika tidak dinyatakan dengan akad yang jelas (s}arīh}). Pernyataan yang jelas ini harus diaplikasikan dengan suatu pernyataan ijab- qabul ("saya beli barang ini dengan harga sekian") bagi pembeli dan ("saya jual barang ini dengan harga sekian") bagi penjual.

Asal muasal adab orang banjar ketika melakukan jual beli mengucapkan kata tukar dan jual adalah dari ajaran Ulama Banjar yang mendunia, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam kitab Sabilal Muhtadin mengajarkan akad jual beli yang mengikuti syariat Islam. Ulama besar ini dikenal pula dengan nama Datu Kalampayan. Dalam kitab fiqih yang dikarang Syekh Muhammad Arsyad, mengajarkan akad jual-beli sesuai syariat Islam. Pedagang, baik di warung-warung, pasar tradisional, dan pasar terapung, masih bertahan dengan sistem jual-beli ini. Pedagang biasanya mengucapkan kata "jual" atau dijual/menjual, sedangkan pembeli membalas ucapan/akad itu dengan mengucapkan "beli" atau dibeli/membeli. Akad ini menjadi syarat sah jual-beli atau berdagagang, atau badagang. Jadi sangat penting bagi umat islam untuk mengetahui adab jual-beli yang sesuai syariat tersebut.

Berikut contoh pernyataan yang diaplikasikan dengan suatu pernyataan ijab-qabul tersebut :

Pembeli : "Cil, berapaan harga mangganya?" (harga manganya berapa bu?)

"ulun nukar 2 biji cil" (saya beli 2 bu)

Penjual : "5000 ding ai" (harganya 5000 de)

"2 biji 10.000 ding ai" ( beli 2, harganya jadi 10000 de)

Pembeli : "Ulun tukar mangga nya harga 10.000" (Saya beli mangganya seharga 10.000)

Penjual : "iyaa acil jual harga mangganya harga 10.000, berelaan ding lah makasih" (iyaa ibu jual mangganya seharga 10.000, minta keridhaanya dek, terimkasih)

Pembeli : "iyaa acil jual harga mangganya harga 10.000, berelaan ding lah makasih" (iyaa ibu jual mangganya seharga 10.000, minta keridhaanya dek, terimkasih)

Penjual : "inggih, sama-sama cil, berelaan jua" (iya bu, sama-sama, saya minta keridhaanya juga bu)

Makna pengulangan kata akad jual beli tersebut adalah menjatuhkan hukum suatu barang yang mana sebelumnya subhat menjadi halal, sesuatu barang yang belum ada akad jual beli barang itu dikatakan haram. Mengabsahkan suatu barang dalam akad jual beli menjadi suatu hal yang penting.

Hal semacam ini dilaksanakan tanpa melihat situasi dan kondisi di mana transaksi itu dilakukan, seperti apa yang terjadi disungai Pasar Terapung sebagai salah satu pusat kegiatan mu‟amalah bagi orang Banjar.

Akad jual beli di pasar terapung Banjarmasin merupakan adat kebiasaan yang telah ada sejak dulu dan sudah menjadi suatu kebudayaan, shigat akad tersebut adalah penggabungan antara hukum Islam dengan hukum adat yang mana hukum adat itu mengkiaskan suatu hukum yg dibawa kepada kebiasaan yg diambil dari hukum syar‟I atau hukum Islam. Akad jual beli di Pasar Terapung dalam masyarakat Banjar telah memperhatikan asas-asas hukum yang menjadi landasan dalam rangka untuk mewujudkan asas kemaslahatan hidup dan asas kebebasan, kesukarelaan dalam jual beli. Praktik akad jual beli di Pasar Terapung telah memenuhi syarat akad dalam jual beli, yang inti nya adalah mengarah pada kerelaan dan kesepahaman antara penjual dan pembeli.

Selanjutnya apabila si pembeli adalah non muslim atau orang asing dikarenakan mereka tidak mengerti dengan adanya akad dalam transaksi jual beli di Banjarmasin maka akad itu dilakukan oleh si penjual saja, dan menerima tidaknya non muslim tersebut asalkan telah gugur kewajiban dari si penjual maka transaksi jual beli tersebut sudah dikatakan sah. Misalnya kita cukup mengatakan kata terimakasih kepada non muslim atau orang asing jual beli itu sudah sah.

Oleh karena hal tersebut orang banjar merupakan masyarakat yang menganut mazhab Syafi'ī. Masyarakat Banjar senantiasa menggunakan sumber-sumber dari kalangan mazhab Syafi'ī dalam berbagai aktivitas keagamaan yang berhubungan dengan hukum mengikuti tata aturan yang berkaitan dengan ibadah, transaksi dagang, maupun perkawinan, Dan Masyarakat Banjarmasin kebanyakan bertaqlid atau mengikuti orang banyak dari mulut ke mulut dalam melakukan budaya akad jual beli yang diambil dari kitab Sabilal Muhtadin dari datu kelampaian Syekh Arsyad al-Banjari, perilaku mengikuti budaya akad jual beli itu menjadi kebiasaan dan turun temurun hidup dalam perilaku sosial masyarakat Banjarmasin.

Jadi jangan sampai salah mengira lagi akad nikah di sana ya temen ciwi-ciwi.


Muhammad Arsyadi, " Tinjauan Antropologi Hukum Islam Terhadap Praktik Ijab-Kabul Dalam Transaksi Jual Beli Di Pasar Terapung Banjarmasin", Jurnal diversi volume IV nomor 1, Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Kediri: 2018. http://digilib.uin-suka.ac.id/32298/ 

F.Y.I. (Fakta yang Informatif)Where stories live. Discover now