Mimosa Pudica 2

26 3 1
                                    


Netra Anet tak lepas dari mimosa pudica. Kadang senyum-senyum sendiri, pipi gadis itu selalu merona saat menatap pot tanaman itu.

"MasyaAllah! Ternyata cantik, yah, bunga putri malu kalo sudah pake pot," ucap Tanti. Suaranya yang lembut membuat Anet menoleh sebentar ke arah Tanti.

"Eh, iya Kak, aku pun baru sadar ternyata tanaman yang tumbuh liar ini bisa terlihat indah, yah." Netra Anet kembali menatap putri malu.

"Putri malu itu memang unik, darinya kita bisa banyak belajar," ucap Tanti.

"Oh, ya?" Alis Anet bertautan.

Kedua sudut bibir Tanti terangkat sambil mengangguk.

"Coba perhatikan saat daun ini tersentuh, ia akan refleks menguncup--menutup diri, tanaman ini begitu sensitif dan peka terhadap rangsangan. Kemudian bunganya yang berwarna pink keunguan ini memiliki serbuk yang halus dan lembut serta batangnya yang penuh dengan duri."

"Kalau diibaratkan seperti wanita yang memiliki sifat pemalu dan cepat  sensitif." Jemari Tanti menyentuh ujung tanaman putri malu.

Anet meletakkan pot itu di atas lantai masjid.

"O,ya kata Asma, kemarin Kakak mampir ke kelas 1B?" tanya Anet sambil memeluk kedua tungkai kakinya.

Perhatian Tanti seketika itu berubah menatap Anet sambil tersenyum mengangguk kecil.

"Iya," ucap singkat Tanti.

Anet mengkerutkan dahinya.
"Kok, aku nggak tahu yah?"

"Iya, kakak cuman mampir sebentar, lagian Anet lagi sibuk dengan yang lain."

Tanti sesaat melirik Anet yang masih memperlihatkan wajahnya yang bingung.

Anet mencoba menangkap maksud Tanti, apa?

"Jangan-jangan, kemarin Kak Tanti, lihat kejadian di kelas?" tebak Anet.

Tanti hanya mesem.

"Aduh, maluuu,"  ucap Anet sambil menutup wajah yang berubah memerah.

"Rasa suka terhadap lawan jenis itu normal. Setiap diri kita butuh dicintai dan mencintai. Dan itu fitrah manusia. Hanya saja kita jangan salah  cara menyikapinya." Nasihat lembut dari Tanti  perlahan meresap dalam sanubari Anet.

Anet mendengar serius setiap kata demi kata yang ke luar dari mulut kakak seniornya. Setiap berbincang dengan Kak Tanti selalu ada nasihat menyentuh dan ilmu yang bermanfaat yang ia dapat.

"Hari Ahad jangan lupa, yah, hadir lagi mentoring."

Anet mengangguk kecil sambil tersenyum.

Anet dan Tanti siang itu meninggalkan masjid Lukman. Masjid kebanggaan SMA Harapan Bangsa. Masjid ini begitu makmur dengan segala aktifitas kegiatan Rohis.

Setiap pekan ada kegiatan rutin mentoring untuk seluruh siswa SMA baik yang putra maupun putri. Selain itu selalu ada salat Jumat berjamaah dan khusus untuk para siswi ada keputrian--kajian khusus muslimah  yang diisi oleh kakak senior dan para alumni SMA Harapan Bangsa.

Beberapa bulan mengikuti kegiatan Rohis semakin Anet nyaman dan betah berinteraksi dengan teman-teman di Rohis yang baik dan ramah.. Di sini Anet banyak belajar mengenai Islam, bagaimana menjadi seorang muslimah yang sejati. Belajar mengenal makna ukhuwah--persaudaraan dalam Islam. 

Anet merasakan tidak sekedar teman atau sahabat tetapi kedekatannya seperti sudah menjadi saudara. Dimana jauh dari persaingan dan saling menyakiti. Di Rohis Anet mulai mengenal makna cinta yang sesungguhnya. Makna cinta yang agung yang harus dikejar oleh setiap hambanya.

Ah, benar-benar aku menemukan kenyamanan bersama mereka. Pertemanan inilah yang selama ini aku cari. Bisiknya dalam hati.

Satu bulan di skors dari Harmoni membuat Anet kurang semangat lagi untuk bergabung sengan paduan suara tersebut. Anet mengundurkan diri dari Harmoni. Rival-nya Silvy tentu senang dengan tersiar kalau Anet tidak berada lagi di Harmoni.

Awalnya sangat berat meninggalkan Harmoni, karena gadis itu sangat senang bernyanyi, menyenandungkan lagu-lagu yang ia sukai. Memang jiwa seni dari kecil sudah mengalir dalam darahnya. Kecintaaanya dalam seni merupakan turunan dari Ayahnya yang senang bermain musik. Ayahnya pandai memainkan berbagai macam musik.

Anet sudah mantap dengan keputusannya. Ia menemui Ira, Sang ketua Paduan Suara Harmoni. Anet menyampaikan alasan mengapa ia mengundurkan diri dari Harmoni. Salah satunya karena alasan keluarga, yang keberatan melihat dirinya sibuk dengan kegiatan di luar.

"Makasih, Kak, sudah memberi kesempatn bergabung dengan Harmoni," ucap Anet.

"Sayang, Net, kamu sampai mengundurkan diri, tapi apapun keputusanmu aku mengerti." Ira menepuk bahu Anet dengan pelan. Tak lama dua gadis itu tenggelam dengan obrolan hangat.

Bagi Anet awal dan akhir dari sebuah aktivitas atau pertemanan harus berakhir dengan baik jangan sampai meninggalkaan kesan buruk.

Kak Tanti selalu memberikan nasihat bijaknya, "Insya Allah dibalik setiap perjalanan hidup kita pasti ada hikmahnya."

Anet tak menyesali semua keputusan yang ia ambil. Gadis itu seperti biasa setelah salat Duhur duduk di beranda masjid. Ia menunggu Rio selesai salat.

Hilir mudik para siswa dan siswi masuk  dan ke luar masjid.

Anet memperhatikan kakak -kakak Rohis yang mengenakan hijab. Ia merasakan keteduhan terpancar dari raut muka mereka. Wajah mereka bersinar dan aura positif dirasakan oleh Anet. Ada dorongan kuat dalam hati Anet ingin seperti mereka, tetapi Anet belum siap. Anet merasa ia belum pantas mengenakan hijab, dan ia pun ingin masih bebas. Anet merasa dengan hijab masih terkukung tidak bisa bergerak bebas semaunya.

"Ah, aku belum siap, aku belum pantas seperti mereka yang sudah salih." Gejolak batin Anet bergumuruh.

" Gejolak batin Anet bergumuruh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Love Yourself Where stories live. Discover now