10 | Bertemu Ali

175K 10.9K 299
                                    

"Naqiya?" Ujar seseorang yang tiba-tiba mengagetkannya. Otomatis kepala Naqiya menoleh untuk mengetahui siapa gerangan yang memanggil namanya itu.

"Bang Ali? Kenapa disini?" Tanya Naqiya terbata karena dirinya begitu terkejut akan kehadiran Ali. Matanya tertuju pada alat tes kehamilan itu dan sesegera mungkin ia memasukkan ke dalam tas yang ia pakai.

"Panggil aku Ali aja, Nay," Ali memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, "Aku mau beli obat Umma, Nay. Kamu sendiri beli itu untuk siapa? Fatimah?" Ali kemudian terkekeh. Gila saja kalau Fatimah hamil lagi, Yusuf saja masih sangat kecil.

"A-eum nggak, Ali, aku beli alat itu buat Kak Zahra, istri Abangku," Naqiya mengangguk-angguk mencoba meyakinkan Ali, "Sepertinya Kak Zahra mengandung ponakan baru untukku hehe." Kekehnya.

"Ponakanmu juga masih kecil 'kan, Nay?"

Naqiya mengangguk, "Ya apa boleh buat kalau sudah jadi?"

Ali terkekeh, "Iya benar kamu. Kalo kita jadi menikah, kita kasih banyak sepupu untuk ponakanmu itu ya, Nay!"

Naqiya tertegun, mengapa Ali membahas sampai sana? Seyakin itukah dia bahwa Naqiya akan menerimanya menjadi suaminya? Ali berbicara demikian tanpa ada rasa tidak nyaman sama sekali. Pria itu justru terkekeh dengan wajah bahagianya.

"Aku suka anak kecil, Nay," Jelas Ali, "Semoga kamu mau melahirkan banyak anak-anak ketika jadi istriku nanti."

Naqiya sedikit bergidik ngeri membayangkan akan melahirkan banyak anak. Segampang itukah lelaki ini berbicara? Dirinya juga merasa aneh dengan Ali yang tiba-tiba membahas soal anak. Tolonglah, mereka belum sedekat itu.

"Maaf ya, Nay, kalau kamu merasa nggak nyaman. Aku hanya udah nganggep kamu sebagai calon istri aku."

Naqiya mengangguk. Iya in aja dah, batinnya.

"Iya, Ali, mungkin aku harus pergi duluan ya takutnya Kak Zahra nungguin."

"Ah iya silakan, Nay, perlu aku antar?" Tanya Ali.

Ali mendapatkan penolakan dari Naqiya karena gadis itu menggeleng, "Nggak usah, aku juga bawa motor sendiri kok."

Ali mengangguk, mengiyakan ucapan Naqiya. "Yaudah kalo begitu hati-hati di jalan ya calon istri."

Tampan, Ali sangat tampan. Senyumannya saat mengatakan itu masih membekas di pikiran Naqiya. Apa yang dia rasakan sebenarnya? Bahkan Naqiya sendiri bingung dengan dirinya. Perempuan itu memutuskan untuk berbohong, mengatakan bahwa alat tes itu untuk kakak iparnya. Yang terjadi sebenarnya adalah alat itu adalah alat tes miliknya sendiri.

Jujur, Naqiya belum siap atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Untuk mengetes urinnya dengan alat itu saja Naqiya tidak berani. Jika memang ia hamil, apa yang harus ia lakukan setelahnya? Menggugurkan kandungannya? Mengatakan pada Bara bahwa dirinya tengah mengandung sehingga pria itu akan segera bertanggung jawab?

Tidak, sekali lagi, dirinya tidak mungkin hamil.

Namun, tidak ada yang menutup kemungkinan bahwa dirinya tengah mengandung. Bara memaksanya melakukan itu. Mereka melakukannya bahkan di tengah Bara yang tidak mengenakan pengaman apapun. Begitupun dengan Naqiya.

Tidak ada yang bisa menjamin bahwa dirinya sudah aman.

Naqiya menangis, dirinya benar-benar tidak sudi mengandung anak dosen bajingan itu. Apalagi mengandung di luar ikatan pernikahan. Abi dan Uminya pasti sangat kecewa. Semua keluarga besarnya pasti sangat murka. Mungkinkan yang dinamakan murka tujuh turunan akan terjadi pada Naqiya?

Jika memang ia mengandung, sejatinya Bara mesti mengetahui itu. Karena Naqiya tidak mungkin menanggung hasil perbuatan pria itu sendirian. Naqiya tidak mungkin menjadi orangtua tunggal untuk anaknya. Tapi apakah dosen itu mau bertanggung jawab? Jika memang Bara siap bertanggung jawab apa Naqiya siap hidup berumah tangga bersama Bara? Sedangkan untuk saat ini Naqiya benar-benar membenci Bara.

Lagi, Naqiya menangisi kondisi dirinya. Niatnya ingin membantu malah justru derita menimpanya. Ia tidak tahu kemana harus melangkah. Semua orang pasti akan menghakiminya.

"Nggak, aku nggak mungkin hamil!"

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang