Marah

1.1K 173 118
                                    

"Hyung ada yang mau aku bicarakan."


Heeseung membuka suara, saat ini ia dan Suaminya sedang berada di dalam mobil, perjalanan pulang menuju rumah setelah berbelanja kebutuhan untuk Acara Syukuran Ni-ki besok.

"Ngomong aja, Hyung dengerin."


"Tidak di sini Hyung, dirumah aja ya."


K diam nampak menimbang beberapa saat, membuat Heeseung berharap Suaminya mau mengiyakan permintaanya. Sejujurnya sudah sejak kemarin Heeseung ingin mengajak suaminya berbicara, sejak insiden makan malam itu ia menyadari bahwa suasana semakin canggung antara suaminya dan anak-anaknya. Heeseung tidak ingin keluarganya menjadi terpecah belah seperti ini. Tapi ia tak menemukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan suaminya.










"Bicara di sini atau tidak sama sekali."



Heeseung hanya bisa menghela nafas panjang, sebelum akhirnya menyerah, tidak ingin membuat Suaminya berubah pikiran, akhirnya ia memutuskan untuk berbicara setelah memantapkan hatinya.


"Soal perjodohan Ni-Ki, apa tidak sebaiknya kita bicarakan baik-baik. Maksudku, anak-anak sudah besar Hyung, mereka sudah bebas menentukan jalan hidup mereka masing-masing."


K menghentikan mobil dengan tiba-tiba membuat Heeseung kaget dan hampir terpental ke depan jika saja ia tidak memakai sabuk pengaman. "Apa maksudmu aku tidak bisa mengatur mereka? Ni-Ki ANAKKU Seung. Kau harus tahu itu, kau yang seharusnya tidak ikut campur dengan semua ini."


Sejujurnya Heeseung sangat sakit hati dengan kalimat yang terlontar dari mulut K. Suaminya itu seakan membangun sekat, menegaskan bahwa Heeseung bukan orang tua kandung Ni-Ki, membuat hatinya terasa teremas. Sedikit tidak percaya bahwa Suaminya tega berkata seperti itu.


"Hyung, Ni-Ki juga anakku. Dan aku tidak mengatakan bahwa Hyung tidak bisa mengatur Ni-ki. Kita memang sebagai orang tua ingin yang terbaik untuk anak kita, tapi setidaknya kita harus mendengarkan pendapat mereka juga Hyung."


"Sudah ku katakan keputusanku sudah bulat, ini semua demi kebaikan Ni-Ki."


"Hyung, setidaknya beri Ni-Ki kesempatan untuk berbicara. Kita sebagai orang tua tidak boleh egois."


"Egois katamu? Kamu mau bilang aku tidak becus menjadi orang tua, begitu Lee Heeseung!!" Heeseung tersentak ketika K membentaknya, untuk pertama kali selama pernikahan mereka K membentaknya dan membuatnya sakit hati.






"Ku rasa kau sebaiknya keluar dari sini sebelum kesabaranku habis dan bermain tangan padamu Seung."





Tak ada pilihan lain untuk Heeseung selain keluar dari mobil, tidak ingin membuat sang Suami lebih marah padanya. Heeseung hanya bisa memperhatikan kepergian suaminya dengan tatapan penuh kekecewaan.


Heeseung tidak tahu, sama sekali tidak mengerti mengapa Suaminya berubah seperti ini. Padahal kemarin mereka masih baik-baik saja, K masih menyayanginya dan memperlakukannya dengan lembut. Tetapi tiba-tiba saja Suaminya berubah 180°. Jujur saja, Heeseung merasa tidak mengenal sosok K saat ini, dimana perginya Suaminya yang begitu penyayang?




"Ni-Ki maafkan Papa." Heeseung bergumam pelan seraya berjalan lemah, kakinya ia biarkan berjalan tanpa arah mengikuti kemana langkahnya akan membawanya.



'Lee Heeseung jangan cengeng.' Heeseung mencoba menguatkan hatinya, berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Dia tidak mau menjadi cengeng, dia tidak mau menangis, tapi matanya tidak bisa diajak kerja sama dan membuat beberapa tetes air mata berhasil lolos dan jatuh ke pipinya.











Our FamilyWhere stories live. Discover now