BAB 3 | Aku benci Papa!

1.7K 257 68
                                    

Setelah menangis semalaman, setelah tidak mau ikut makan malam, tidak mau ikut sarapan, dan tidak mau berangkat ke sekolah, Tania memutuskan untuk keluar kamar dan menemui mamanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Setelah menangis semalaman, setelah tidak mau ikut makan malam, tidak mau ikut sarapan, dan tidak mau berangkat ke sekolah, Tania memutuskan untuk keluar kamar dan menemui mamanya.

Dia ingin memastikannya sekali lagi. Karena untaian kata dalam surat itu masih belum membuat Tania yakin sepenuhnya.

"Sayang? Kamu udah mendingan? Kalau sakit, kita ke rumah sakit, ya? Tadi Aslan sama Lissa juga udah nanyain keadaan kamu, Mama bilang kalau kamu lagi nggak enak badan dan titip absen sama mereka."

Baru tiba di dapur, Tania sudah diborong dengan pertanyaan oleh mamanya. Alih-alih langsung menjawab, gadis itu memilih untuk mendudukkan tubuhnya di kursi meja makan.

Sementara Metta tengah berdiri di depan kompor yang di atasnya terdapat olahan sesuatu.

"Tania mau ngomong sama Mama," kata Tania. Pelan, dan dengan tatapan yang nyaris kosong.

"Ngomong apa, Sayang? Bilang ke Mama, kamu lagi nggak enak badan? Ada yang sakit? Mama sama papa khawatir banget karena dari pulang sekolah kemarin, kamu nggak keluar kamar dan nggak makan-makan. Sekarang makan, ya, Sayang? Kamu mau makan apa? Biar Mama--"

"Jadi maksud dari surat itu apa, Ma? Tolong jelasin, dengan penjelasan yang lebih jelas lagi." Tania memotong ucapan Metta, dengan tatapan yang kini beralih menatap wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu.

Mulut Metta yang mulanya terbuka, kini mengatup rapat.

"Aku butuh penjelasan lebih dari sekadar tulisan menyakitkan itu, Ma. Tolong ulang semua kata-katanya, di depan Tania langsung," ucap Tania lagi.

Metta yang sudah paham dengan maksud ucapan anak gadisnya itu, menelan ludah susah payah. Dia mulai memberi respons tak biasa, dengan jantung yang berdetak lebih cepat, juga mata yang tak mampu membalas tatapan gadis itu.

"Ma? Mama masih mau ngomong sama Tania, kan?"

"Sayang?" Bahkan baru mengucapkan kata itu saja, suaranya sudah bergetar.

Metta mematikan kompor, berjalan mendekat dan ikut duduk di kursi yang berseberangan dengan anaknya. Raut wajahnya terlihat sangat berbeda. Yang bermula khawatir, sekarang menjadi takut.

"Tania mohon dengan sangat mohon, jelasin sekali lagi, Ma. Yang jelas, dan di depan Tania langsung."

Menjadi anak perempuan yang mendapatkan penuh kasih sayang dari orang tua, keluarga, teman-teman, bahkan sampai ke teman-teman papanya, Tania tidak menyangka kalau ternyata dia akan merasakan sensasi seperti ini.

FAUZAN 2 : Unfinished StoryWhere stories live. Discover now