Magic Spell

410 43 28
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

Kisah ini akan ku awali dengan kata wajib seperti dongeng pada umumnya, kata ajaib yang bisa menjadikan satu cerita menjadi nyata entah kapan zona waktunya. "Cinta".
Masih  tentang cinta, karena sekali lagi, hanya itu yang aku kuasai. Aku dan kau, kita adalah pemuja pesona benang merah antara dua hati yang saling mengikat dan menjaga satu sama lain. Bukankah demikian ?
.
.
.
.
Benang merah itu kini bertaut membentuk satu jalinan yang mengikat hati seorang pemuda berwajah pucat yang menatap rembulan ungu di balik jendela kacanya. Senja kemerahan tadi petang, kini telah berganti malam tenang dan sedikit senyap. Hanya ditemani suara katak dan beberapa jangkrik yang mungkin bersembunyi di rerumputan, pemuda itu menikmati bagaimana sang bulan mulai memamerkan pesonanya, tersenyum angkuh sambil menyombongkan diri, bahwa ialah ratu malam ini.

Sang bulan tak berdusta, kemegahannya sampai pula di mata dan hati si pemuda, bagaimana ia menikmati pancaran sinar ungu kebiruan itu saat ini adalah buktinya.
Pemuda ini menyukai segala hal tentang malam hari, kecuali kegelapan. Satu hal yang tak bisa terpisah dari malam itu membawa suasana asing seperti tengah sendirian, dan ia benar-benar tak menyukainya.

Sedikit tersentak saat tiba-tiba mata hitamnya melihat satu sosok berjalan dari ujung jalan, rumah miliknya ini ada di sudut paling luar desa, amat jarang orang lewat apalagi saat sudah malam.
Sudah kubilang tadi, ia takut gelap, tapi lebih daripada itu, ia takut hantu.
Si pemuda ingin beranjak dari tempat duduknya saat ini, tapi badannya terlalu kaku.

Sosok yang berjalan tadi semakin mendekat, ada pendar oranye menyala menyertainya. Hingga saat sosok itu berada di depan rumah, pemuda tadi menghela nafasnya lega, benar-benar lega.
Ia berdiri dengan tergesa, meninggalkan singgasana nyaman tempatnya memantau bulan sejak tadi lepas senja. Terburu, kaki pemuda itu setengah berlari menghampiri sosok yang masih berdiam diri di dekat pintu pagar, ada lampu kuning redup di sisi kanannya, menimpa wajah sosok tadi yang kini masih menggenggam pendar oranye ditangan.

Sosok tadi menoleh saat pintu rumah terbuka, menampilkan sang pemilik sekaligus kawannya.

"Bisakah kau datang dengan cara yang sedikit lebih normal?" gerutuan si tuan rumah dihadiahi tawa oleh sosok tadi.

"Aku datang dengan normal, tak membawa kapal pesiar kemari, juga tak membawa arak-arakan pengantin ke rumahmu." jawabnya enteng.

"Setidaknya datanglah saat hari masih sedikit lebih terang, juga jangan pakai baju warna gelap seperti itu. Desa ini bukan kota yang banyak lampu.
Aku selalu salah kira bahwa kau adalah hantu, Donghae"

"Aku bukan hantu, mana ada hantu tampan sepertiku? aku tak bisa datang saat pagi atau siang, karena memang pekerjaanku baru selesai petang hari.
Aku sudah menjelaskannya padamu berkali-kali, pengertianlah sedikit"
Donghae mengatakan hal yang sesungguhnya, lagipula untuk apa ia berbohong? Berbohong hanya akan mempersulit diri sendiri.

"Terserah kau saja, oh apa kau sudah makan? dan apa itu yang kau pegang?"

"Ini..? Entahlah, seseorang memberikannya tadi saat aku berjalan kemari, lucu kan? tongkatnya bisa menyala dalam gelap." Donghae mengayun-ayunkan benda oranye di tangannya.

Donghae's Love StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang