Season 2 ; 1

576 74 5
                                    

HAI HELLO ANNYEONG WAHAHAHAHAHA

HAPPY READING!

Kalau ada yang bertanya, "Apa kelanjutan dari kisah Tama dan Jisya?" Jawabannya; tidak ada. Tidak ada yang bisa diteruskan dari kisah asmara Tama dan Jisya, karena mereka sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Tama dengan dunianya, Jisya dengan 'dunia'nya.

Setelah mengetahui kebusukan Yoeri, Tama langsung menggugat cerai perempuan yang baru saja sah menjadi istrinya beberapa jam sebelumnya. Padahal kalau Yoeri tidak berbuat macam-macam, Tama akan mencoba untuk membuka hati untuknya, tetapi memang bukan takdir gadis itu untuk mendapatkan cinta Tama.

Sudah empat tahun setelah kematian Jisya, dan Tama masih terus dihantui dengan kenangannya bersama wanita itu. Tama terjebak di masa lalunya sendiri. Sendirian, karena Jisya sudah bahagia di atas sana.

"Tama." Panggilan dari sang bunda membuat lamunan pria berusia tiga puluh tahun itu buyar seketika.

Tama menoleh, dan mendapati sang bunda berjalan ke arahnya dengan tersenyum lembut. "Kenapa, Bun?" tanya nya pelan.

"Mau sampai kapan?" Pertanyaan yang Bunda Yuni lemparkan membuat Tama terdiam dengan pandangan kosong. "Mau sampai kapan kamu terkurung di masa lalu kamu, Tama? Mau sampai kapan kamu nangisin kematian Ica? Kamu makin hari makin kurus, Tama."

Memang benar. Tubuh Tama yang sudah kurus semakin bertambah kurus tiap harinya, apalagi setelah kematian Jisya yang sangat tidak bisa ia terima. Pria itu menundukkan kepalanya dengan pandangan kosong dan hampa.

"Tama gak bisa, Bun," Tama berujar dengan suara parau. "Tama gak bisa lupain Ica, Tama gak bisa keluar dari masa lalu Tama, Tama gak bisa gak nangisin kematian Ica. Tama sakit hati, Bun, setelah putus sama Ica. Dan sekarang harus terima kematian Ica?"

Bunda Yuni turut merasa sakit saat melihat keadaan putra satu-satunya. Ia tahu seberapa besar rasa cinta Tama terhadap Jisya, tetapi anaknya juga harus bisa menerima risiko dari semua rasa cinta yang ia miliki. Semua hal memiliki risikonya masing-masing, dan kita harus bisa menerima itu.

"Tama, kamu harus relain kematian Ica. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima. Ica bakal sedih kalo kamu nangisin terus. Ica itu perempuan kuat, dan Bunda yakin dia gak akan suka kalo kamu tangisin terus." tutur Bunda Yuni lembut sembari membelai surai legam Tama pelan.

Tama menundukkan kepalanya dalam. Ia tidak bisa membalas perkataan sang bunda, realita seakan menamparnya keras untuk menerima kematian Jisya hingga mulutnya terkunci rapat. Dadanya sesak, dan rasa sesaknya itu merambat sampai ke matanya, mengakibatkan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Bunda mohon, Tama, Bunda mohon. Jaga diri kamu, dan lupakan Ica. Bunda khawatir dengan keadaan kamu yang begini." ujar Bunda Yuni pelan dengan napas tercekat karena menahan tangisannya yang hampir pecah. Keadaan putra sulungnya sangat memprihatinkan sehingga ia merasa sedih.

"Bunda keluar dulu, Tama mau nenangin diri." Perkataan Tama membuat Bunda Yuni menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Dan akhirnya ia berjalan meninggalkan putra sulungnya sendirian di dalam kamarnya dengan kehampaan dan kesunyian yang menyelimuti.

Terkadang, Tama berpikir mungkin apa yang bundanya katakan benar. Ia harus melanjutkan hidupnya, ia tidak boleh terus terlarut dalam masa lalunya. Perlahan, Tama menatap pantulan dirinya di cermin yang menempel pada pintu lemarinya. Menatap pantulan dirinya yang berantakan, tidak terawat, dan terlihat tidak sehat. Daripada terlihat seperti seorang dokter kejiwaan, ia lebih terlihat seperti orang sakit jiwa.

Tama menghembuskan napasnya pelan, benar, ia adalah seorang dokter kejiwaan yang menangani pasien yang memiliki gangguan kejiwaan. Tidak seharusnya ia seperti ini. Masa bisa mengobati orang lain, tapi tidak bisa mengobati diri sendiri? Lelaki itu mengangguk mantap. Ya, ia harus melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang seorang Jisya lagi.

Our Space | Taeyong - Jisoo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang