TIGA BELAS

357 72 22
                                    

kiw kiw, ini pendek hehe

HAPPY READING!

Sudah lima hari Jisya kembali tinggal di Indonesia, dan tidak ada tanda-tanda bahwa Tama-yang katanya pernah datang ke rumahnya-akan kembali datang mengunjungi rumahnya. Bukannya gimana, tapi empat tahun tidak melihat dan mendengar suara Tama membuatnya rindu, jujur saja.

Jisya menghela napas pelan, lalu menyesap teh manis hangat yang ia bawa untuk menemani paginya di teras rumah. Omong-omong tentang rumah, Jisya tinggal di komplek keluarga besar ayahnya, yang dimana isinya hanya Keluarga Butar Butar beserta para ipar.

Setiap rumah yang berada di perumahan keluarga Butar Butar hanya memiliki gerbang pendek sebatas betis berwarna putih. Banyak pepohonan yang tumbuh di setiap bagian komplek menambah kesan asri. Di halaman rumah Jisya terdapat rumput pendek hijau dan beberapa tanaman bunga yang cantik.

Gadis dengan balutan kaus berwarna biru langit dengan gambar awan yang cantik itu menghirup udara pagi Kota Bandung dengan mata terpejam. Hembusan angin mengelus lembut wajah jelita sang puan, anak rambutnya yang tidak tercepol bergoyang pelan terbelai oleh angin. Bandung memang selalu menjadi tempat favoritnya untuk menenangkan diri.

"Permisi." Suara yang terdengar sangat familiar di telinganya membuat Jisya dengan cepat membuka matanya yang terpejam, hingga mata besar indah itu bertabrakan dengan mata elang seorang pria yang sudah empat tahun ini tidak ia lihat. Sosok yang sangat ia rindukan dan... ia cintai. Muhammad Arya Tama Saputra.

Napas Jisya tercekat, seakan-akan oksigen berhenti berputar di sekitarnya. Hatinya bergejolak, perasaannya tercampur aduk antara sedih, senang, rindu, sesak. Udara yang tadinya sejuk berubah menjadi panas, bahkan matanya terasa perih hingga air mata menggenang di pelupuknya. Jisya... rindu.

Gadis jelita itu bangkit dari duduknya dengan perlahan. Kaki jenjangnya yang terbalut celana tidur berwarna hitam polos berjalan dengan pelan menuju lelaki itu, Tama, dengan mata yang terus menatap lurus ke arah Tama. Gadis itu berhenti ketika sampai tepat di hadapan pria itu, walau pagar putih rumahnya berada di antara keduanya.

Akhirnya air mata yang tadi ia tahan luruh juga. Kristal bening itu bercucuran membasahi pipi mulus Jisya yang tidak terpoles make up dengan mulut yang ia tutup dengan telapak tangannya. "Tama..." Perempuan itu bergumam di balik telapak tangannya.

Sedangkan sang Adam menatap Jisya dengan mata berkaca-kaca. Ia sangat merindukan wanita yang saat ini berdiri di hadapannya, tengah menangis. Tama tersenyum sembari menatap Jisya lembut. "Assalamualaikum, Ca."

Tangis Jisya semakin pecah saat mendengar kembali suara laki-laki di hadapannya. Dengan segera ia melompati pagar rumahnya yang hanya sebatas betis, kemudian memeluk Tama erat dengan tangis yang semakin deras. Tama pun membalas pelukan Jisya tidak kalah eratnya. Akhirnya mereka sama-sama bisa menyalurkan rasa rindu yang membelenggu di dada selama empat tahun.

•••

"Awalnya aku kirain Kira itu anak kamu lho, Ca." Tama berujar seraya mengangkat cangkir berisi teh manis hangat yang Jisya buatkan.

Mendengar itu sontak Jisya terkekeh pelan. "Banyak yang bilang gitu juga. Karena katanya matanya mirip aku, yah, mungkin karena aku sama Ella rada mirip jadi mata Kira keliatan mirip aku juga."

Tama mengangguk mendengar cerita Jisya. Ahh, ia merindukan semua ini. Mendengar cerita keseharian Jisya, mendengar tawanya, melihat binar dimata gadis itu, bibir yang melengkung keatas dengan indah. "Tapi selain karena matanya, dia manggil kamu pakai sebutan 'Mami Ica'. Jadi aku pikir Kira anak kamu."

Our Space | Taeyong - Jisoo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang