DLUT~17

115 30 3
                                    

Dengan duduk menghadap jendela besar yang menampilkan kerlap-kerlip lampu kota, sepasang suami istri itu saling berangkulan erat. Sang istri menyandarkan kepalanya pada pundak suaminya. Raut wajahnya mendung, bekas air mata juga nampak di pipi tirusnya.

”Mas, ini udah hampir tiga bulan. Apa masih belum ada informasi juga?” tanyanya serak kepada laki-laki yang menjadi tumpuan tubuhnya sekarang ini.

Tangan sang suami mengelus lembut puncak kepala wanita tercintanya. Tatapannya prihatin memperhatikan tubuh istrinya yang dari ke hari semakin kurus karena beban pikiran yang bersemayam.

”Sabar ya sayang, aku udah mengerahkan orang-orangku untuk mencari anak kita. Kamu cukup bantu doa ya. Aku yakin, anak kita pasti baik-baik aja.” Tangannya merengkuh tubuh kurus istrinya.

”Aku udah jadi ibu yang jahat, Mas. Anak kita selama ini tersiksa. Dan itu karena aku ibu yang egois,” isaknya yang kesekian kali. Suara isaknya menggema di ruang sepi itu.

”Nggak, sayang. Aku yang salah. Aku terlalu ngekang anak kita. Aku terlalu menekan hidup Matt. Dan aku nggak nyangka kalau perbuatan aku itu jadi boomerang buat keluarga kita. Maafin aku,” lirihnya.

Tak ada jawaban lagi, sang wanita semakin membenamkan wajahnya pada dada sang suami. Dia terisak keras di sana. Dan itu membuat perasaan bersalah sang suami semakin besar.

”Aku yang akan turun tangan cari Matt sendiri, sayang. Mulai malam ini aku bakal benar-benar cari dia. Aku bakal bawa anak kita kembali. Dan kita mulai semuanya dari awal. Kamu yang sabar, ya. Aku akan berusaha.”

”Aku pegang janji kamu, Mas.”

°°°

Hari ini Minggu, pagi-pagi sekali Hanggara dan Rey membangunkan Kenta dan Darka dengan brutal. Mereka semalam sudah membuat janji akan pergi bersepeda pagi. Tapi, sudah hampir pukul 6 keduanya belum juga terlihat terusik tidurnya.

Dan dengan inisiatif setan, Hanggara membangunkan Kenta. Dengan bekal segayung air di tangan kananya senyum cerahnya terbit. Begitupun dengan Rey yang sama-sama membawa gayung.

Pertama dimulai dari Rey yang memercikkan sedikit demi sedikit air ke wajah bantal Darka. Berhasil, gumaman kesal menjawab perbuatannya. Mata sipit itu akhirnya terbuka. Melirik tajam ke pelaku yang sudah membuat basah wajahnya.

”Bangsat lo!” umpat Darka setelah mendudukkan tubuhnya. Rey hanya menyengir puas.

Kini, Darka turut melihat Hanggara yang sudah memerah wajahnya karena tak berhasil membangunkan Kenta. Mulutnya tak berhenti mengomel seperti ibu-ibu. Kenta itu kebo nomor satu. Sangat susah sekali dibangunkan jika hari libur seperti ini. Dan yang nomor dua pastinya dirinya sendiri, ia menyadari itu sejak awal.

”Minggir lo, biar gue aja,” usir Darka pada Hanggara yang sudah menyerah. Sebagian kasur sudah basah karena korban gayung di genggamannya, tapi tak se inchi pun Kenta bergerak.

”Njeng! Bangun lo,” Darka memukul pantat Kenta. Bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali sampai gumaman tak jelas Kenta menyapa pendengarannya.

”Shit! Biasa aja dong, gue udah bangun, nih.” Matanya terbuka sebelah. Mengerjab malas pada Darka yang menatapnya dengan muka bantal nan datar.

Kenta bangkit dengan malas. Dengan muka basahnya dia meregangkan tubuhya. Tangannya menggaruk rambutnya yang berantakan.

”Kenapa sih pagi-pagi bangunin orang? Ngantuk banget gue,” oceh Kenta yang hanya diacuhkan oleh Darka.

Dari Luka Untuk Tawa✓Where stories live. Discover now