DLUT~19

213 32 3
                                    

'Ibu sakit?' Pertanyaan itu yang sedari tadi menggelanyut di pikirannya. Kini ia duduk di meja belajar milik Darka, memandang halaman dari jendela besar kamar. Pertanyaan-pertanyaan kepo dari Hanggara tak dihiraukannya sama sekali.

Fokusnya bukan menjawab pertanyaan kepo dari Hanggara. Dirinya tak peduli jika Hanggara harus mati karena penasaran.

Karena tak tahan mendengar kecerewetan Hanggara, Kenta angkat suara, ”please, Ngga. Tolong diem dulu. Janji deh nanti gue beri tahu. Tapi nggak sekarang, gue lagi mumet banget,” ujarnya memohon pada Hanggara yang kini langsung menutup rapat mulutnya. Rupanya dia bertanya di waktu yang salah.

”Tapi, obati dulu luka lo. Nanti takutnya infeksi.” Hanggara berpendapat. Matanya masih ngeri melihat luka-luka Kenta yang masih basah.

Kenta tetap diam, dia tak berniat melakukan apa-apa. Mengobati lukanya saja sangat malas. Masaa bodo jika nantinya akan infeksi. Ia tak peduli lagi.

”Oke, gue keluar. Makan sarapan lo. Jangan sampai sakit lagi,” finishnya. Setelahnya dia keluar dari kamar meninggalkan Kenta yang ingin sendiri.

Kenta merebahkan kepalanya ke meja. Dia tak kuat lagi menopang kepalanya yang terasa berat sekali. Kenta menatap piring yang berisi sarapannya. I
a selama ini makan dengan enak, sedangkan ibunya pasti tak nafsu makan karena memikirkan dirinya.

Kenta tak sepenuhnya membenci. Dia hanya kecewa. Dan ibunya, se egois apa pun beliau. Tak pernah sekalipun dia kekurangan perhatian sang ibu. Walau jarang bertatap mata. Tapi ia tahu ibunya sangat menyayanginya. Dia anak satu-satunya yang selalu di jaga. Lecet sedikit saja omelan panjang akan ia dapatkan dari ibunya.

Iya, ibunya memang seperhatian itu, sesayang itu beliau pada dirinya. Tapi, Kenta tak suka caranya. Caranya terlalu mengekang kebebasanya.

”Tuhan! Aku harus bagaimana? Aku tak ingin menjadi anak durhaka. Tapi aku juga ingin bebas menjadi diriku sendiri seperti harapku selama ini.” Lirih suara Kenta mengadu.

°°°

Dengan ragu, Kenta menekan bel gerbang yang menjulang kokoh di depannya. Sudah berulang kali ia menekan, tapi tak ada satu pun sahutan.

Akhirnya, inilah keputusannya. Dengan berbekal tekad yang tak seberapa, ia kini berdiri di depan rumahnya. Setidaknya jika akhirnya dia harus di kurung kembali, ia pernah merasakan bahagia.

Ditemani Nadarka, Hanggara dan Reynandra. Kenta berpamitan kepada penghuni panti yang selama 3 bulan ini telah menampung kehidupannya. Teman-teman yang sudah ia anggap saudara pun juga masih turut menemaninya sampai sekarang.

”Nggak ada orang deh kayaknya Ken, eh Matt,” cicit Hanggara pelan di akhir. Dia sudah mendengar cerita dari Kenta tadi. Jujur saja, dirinya masih kaget sampai sekarang. Darka tadi juga begitu. Cowok itu jelas kaget, tapi ekspresinya masih tetap sama, datar.

Kenta terkekeh, ”panggil Kenta aja lah,Ngga. Senyaman lo aja,” ucap Kenta.

”Hehe, ya gimana sih Ken. Gue terlalu nyaman manggil nama lain lo. Dan ternyata bener tebakan gue selama ini ....” Semuanya kompak diam menunggu Hanggara yang menggantung ucapannya.

”Nebak apa lo?” tanya Rey tak sabaran.

”Gue nebak kalau Kenta itu anak sultan. Dan ternyata emang bener, lo itu anak sultan astaga.” Hanggara berucap heboh.

Tangannya merangkul pundak Kenta, kini ia harus melupakan kebiasaannya yang satu ini. Kebiasaan merangkul pundak cowok yang akan berpisah dengannya hari ini.

Dari Luka Untuk Tawa✓Where stories live. Discover now