Sebelas~~

62 57 16
                                    

Happy reading♥️


Sudah seminggu sejak kejadian itu. Zen tidak mengabariku ia tengah sibuk ujian tengah semester begitu juga denganku, ujian kali ini lebih mudah dari yang aku pikirkan karna serba online aku bisa mencari jawaban dengan bantuan google dan sesekali aku bertanya dengan kak Eni. Oh iya kak Eni dengan ibu beberapa hari lalu kembali bertengkar dan lagi-lagi masalahnya hanya karna kak Eni tak boleh keluar rumah oleh ibu tapi kak Eni menentangnya dan akhirnya terjadilah perang mulut.

Tak terasa hari berlalu begitu cepat padahal bisa di bilang 80% kerjaanku hanya rebahan dikamar kalau keluar pun aku hanya pergi kerumah Zen.

Virus ini belum henti-hentinya semakin lama semakin parah meskipun sudah new normal tapi tetap saja banyak yang tidak mematuhi peraturan new normal ini sehingga banyak penduduk yang terjangkit virus.

Ekonomi merosot aku dapat merasakannya ibu dan ayah dulu bekerja di sebuah perusahaan namun karna virus ini mereka di PHK jadi ayah harus mencari pekerjaan baru.

Pagi ini tidak ada mata kuliah tapi tetap saja notifikasi terus berbunyi di ponselku. Aku mencoba melihat chat grup yang sudah mencapai ribuan balon chat, aku membaca satu per satu balon chat tersebut aku melihat yang sering nimbrung hanya orang-orang itu saja aku menghela nafas bosan melihat percakapan mereka.

“ Ardha sibuk ga hari ini?”

Aku mengamati chat dari Mita yang baru saja ia kirim beberapa detik yang lalu. Aku yakin Mita pasti ingin mengajakku keluar rumah, jujur aku sudah sangat bosan dirumah saja tapi jika aku keluar dengan Mita itu artinya aku harus mengeluarkan uang. Untuk saat ini aku harus berhemat mengingat kondisi yang semakin memburuk.

Engga sih.. knp?”

Mita
“Anak fakultas kita ngajak meet nih”

“Meet? Engga dulu deh mit, kapan-kapan aja yaa”

Terkahir Mita mengirim emoticon sedih untuk mengakhiri chat, aku hanya bisa menghela nafas panjang rasanya aku ingin seperti dulu lagi aku ingin bumi yang dulu keadaan seperti ini sangat menyesakkan dada.

“ Dhani?”

Terdengar suara ibu memanggilku dari luar kamar, aku segera beranjak dari ranjang membuka pintu kamar.

Ceklek

Saat pintu kamar terbuka aku melihat seorang perempuan paruh baya dengan banyak garis diwajahnya wanita yang sangat aku cintai.

“kenapa Bu?”

“Kamu Itu loh di dalam kamar aja kerjaannya ayo keluar sarapan dulu” ibu menarik tanganku menjauhi kamar. Kami menuju dapur yang sekaligus ruang makan terlihat sudah ada ayah dan kak Eni disana.

“Punya anak dua yang satu hobi di kamar aja yang satunya lagi hobinya keluar aja” celetuk ibu sambil mengambilkan minuman untuk ayah. Ini hal yang lumayan langka dirumah kami. Biasanya ibu dan ayah akan pergi kekantor pagi-pagi meninggalkanku dan kak Eni sarapan tanpa mereka.

Ayah terkekeh pelan mendengar ucapan ibu “ Eni udah dewasa Bu jadi dia akan suka melalang buana kalo Dhani masih bau kencur jadi lebih milih dirumah” timpal ayah ikut menimbrung, aku dan kak Eni hanya tersenyum seadanya. Aku tak tau harus mengatakan apa jujur saja aku tidak dekat kedua orang tuaku menurutku kak Eni lah yang lebih dekat dengan mereka.

“tumben ayah ga kerja hari ini?” Tanya kak Eni santai sambil menyuapkan nasi goreng ke mulutnya yang kecil.

Entah kenapa pertanyaan kak Eni membuat atmosfer di ruang makan menjadi dingin. Ayah dan ibu hanya diam sibuk dengan sarapannya masing-masing aku yang menyadari situasi yang tak bagus berusaha untuk tidak terlihat kikuk. Benar-benar canggung.

“Kenapa? Ayah di pecat lagi ya?” ujar kak Eni lagi yang membuatku tak suka dengan arah pembicaraan kak Eni yang akan mengundang keributan. Aku menatap kak Eni berusaha mengodenya agar tak bertanya lagi namun kak Eni tak mengindahkannya ia terus bertanya kepada ayah seputar pekerjaan.

“ibu ga niat buat cari kerja? Biaya kuliah Eni semester ini dengan Ardhani gimana?” kak Eni memasang tampang tak bersalah saat melontarkan ucapan yang menurutku tak usah di tanyakan saat ini, ku perhatikan wajah ibu dan ayah berubah saat kak Eni melontarkan ucapan yang terdengar seperti menagih uang kepada ibu dan ayah.

“Bu? Yah? Kok diem aja sih? Kalo gitu biar aku aja yang cari kerja!”

“CUKUP ENI!” suara ibu bergetar

Aku menatap ayah yang terlihat tenang namun wajahnya mengeras menahan amarah. Disaat suasana disini aku tak tau harus berbuat apa rasanya aku ingin kembali ke kamar lebih baik mendengar pertengkaran mereka dari jauh saja dari pada berada di situasi yang mulai memburuk ini.

“kenapa? Aku salah? Oh iya aku kan emang selalu salah di depan ibu dan.. ayah” ujar kak Eni ketus.

“Kamu selalu saja merusak suasana!” balas ibu marah

Bukan kak Eni namanya jika ia tak melawan ibu “iya! emang aku ga pernah baik di mata ibu! Apa salahku? Aku Cuma bertanya tadi. Ibu membalasnya dengan marah! aku Disni terlihat seperti anak durhaka padahal aku hanya menawarkan diri untuk bekerja agar bisa bantu ibu dan ayah mengurangi beban. Apa itu salah?” kak Eni menatap ibu dan ayah bergantian dengan mata yang berkaca-kaca aku tak tau persis perasaan apa yang di miliki kak Eni sehingga ia snagat berani mengeluarkan ucapan seperti itu kepada ibu. Bukan hal pertama namun kali ini ada ayah tidak ada lagi kak Eni menghormati ayah.

“Kamu memang anak durhaka! Kamu ga punya sopan santun! Kamu selalu merasa paling baik selalu merasa tersakiti padahal Disni kamu yang menyakiti hati ibu! Kamu yang tak pernah menghargai ayah. Apa pantas kami ngomong seperti itu dengan orang tuamu. Kamu tak pernah mencerminkan sebagai kakak yang baik bagi Ardhani!”

Lepas sudah pertahanan kak Eni bulir bening mengalir di pipinya. Aku pikir kak Eni akan meminta maaf tapi ternyata tidak.

Kak Eni menghapus air matanya “ ya! Aku tau aku ga sebaik Ardhani aku tau aku ga pernah bisa jadi anak kesayangan ibu! Cuma Ardhani Dimata ibu Cuma Ardhani di hati ayah anak kalian Cuma Ardhani!”

“Eni hentikan ucapanmu itu” tegur ayah pelan berusaha menahan emosinya yang mungkin sudah berada diujung tanduk

Aku tak tahan lagi dengan berat hati aku berdiri dari dudukku menatap kak Eni dan ibu bergantian lalu pergi meninggalkan mereka. Aku sedih dengan ucapan kak Eni meski sering dia membanding-bandingkan dirinya denganku tapi entah kenapa kali ini aku merasa sangat terpojok. Aku tak mengerti dengan mereka aku tak mengerti kenapa kak Eni begitu cemburu aku tak mengerti dengan sifat kak Eni yang meski begitu ia tak pernah menyakitiku. Aku tak paham maksud dari semua ini. Aku terlalu memperhatikan diri sendiri hingga tak tau kehidupan dirumah ini yang sebenarnya. Mereka tak pernah bercerita selalu menganggap ku anaknkecil yang tak tau apa-apa.

“ Dhani!” terdengar suara ayah memanggilku dan suara langkah kaki mengikutiku.

Aku langsung masuk kamar sebelum ayah mendatangiku dan dengan cepat aku menguncinya. Pagi ini cerah namun tak dapat membuat suasana cerah di keluargaku, aku duduk terpaku bersandar di pintu masih terdengar kak Eni dan ibu bersahut-sahutan. Aku menutup telinga sambil memejamkan mata hampir setiap hari aku mendengar pertengkaran ini.

TING

Terdengar satu notifikasi dari ponselku aku perlahan beranjak dari tempat dudukku merebahkan Kembali tubuhku yang belum sempat terisi oleh sarapan pagi ini. Aku melihat ada nomor yang tak dikenal mengirimku pesan.

Gue di minimarket”

To be continue~~~~

Ily♥️

ARDHANI [ On-going ]Where stories live. Discover now