Prolog

483 53 5
                                    

RED ORGANDY

Act. 1 - The Destiny of Full Moon

*****

.

.

SRAK!

Sesosok pria berjubah hitam itu terus mempercepat larinya sambil sesekali menoleh ke belakang. Raut panik di wajahnya berpadu dengan gelapnya malam yang begitu kelam. Di sela-sela pepohonan yang sanggup dilewatinya, ia terus berusaha berlari meski rasa perih mulai terasa di tangan dan wajahnya. Asin. Saat ada cairan yang tak sengaja mengalir masuk ke celah bibirnya, rasa asin dan anyir langsung berdansa di atas lidahnya. Ia tak peduli meski wajahnya harus berlumuran darah sekalipun, yang jelas ia harus berhasil lolos dari sosok-sosok lain yang mengejarnya dengan sama cepatnya di belakang sana.

'Sekali tertangkap, mampuslah aku.'

Semakin jauh ia berlari, semakin terenggut oksigen di dalam paru-parunya. Dengan nafas yang terengah-engah, ia mendongak menatap langit yang bertiraikan kelamnya lautan hitam pekat. Gumpalan awan abu-abu masih setia menggantung di sana, menyembunyikan mutiara kebanggaan sang malam.

"Sialan!"

Ia mengumpat dengan kesal. Sungguh ia berharap bulan purnama muncul dengan kegagahannya di saat seperti ini. Hanya itulah sumber kekuatannya sekarang. Bila hal ini terus berlanjut, maka ia hanya akan menggerogoti tenaga dan tubuhnya sendiri. Ia harus segera kembali ke sosok aslinya atau ia akan mati karena kelelahan setelah berlari dengan tubuh manusianya kini.

"Akh!"

'Gawat, gawat, gawat.'

Cukup sudah. Tenaganya sudah tak sanggup lagi menuruti laju tubuhnya. Ia menghentikan langkah dan bersandar pada salah satu pohon yang sebisa mungkin ia raih. Pandangan matanya sudah mulai mengabur, dan dadanya terasa sakit karena jantung yang ia paksa bekerja terlalu keras. Jangan lupakan keringat dingin yang sudah deras membanjiri wajahnya. Sepertinya kini ia sudah mulai pasrah. Bunuhlah saja dirinya bila memang itulah tujuan awal sosok-sosok berkulit pucat yang sedari tadi tengah mengejarnya. Ia sudah tak punya tenaga lagi. Persetan dengan bulan purnama, toh sepertinya ia juga tak ada niatan untuk menunjukkan diri di malam hari ini. Hanya butuh beberapa detik sebelum tubuh sosok itu akhirnya terperosot ke tanah yang penuh dedaunan kering.

SRAK!

Ia sontak mendongak sedikit saat ada sosok tinggi berdiri di depannya. Senyum lemah langsung terukir di ujung bibirnya yang berdarah.

"Bunuh aku, lakukan sesukamu." serunya dengan kekehan kecil.

Namun, sosok itu masih saja terdiam, menatapnya dengan dalam tanpa berniat mengeluarkan sepatah katapun.

"Cepat lakukan. Kalau bulan sudah mulai tampak, justru aku yang akan menghabisimu."

"Sungguh memprihatinkan."

Ia kembali mendongak dengan sebelah alis yang terangkat, heran. Ia mencoba menelisik wajah sosok di depannya ini, tapi karena matanya yang masih buram, ia tak bisa melihat sesuatu selain kegelapan.

"Tu es mort! (bunuh dia!)"

'Huh?'

Ia sontak menoleh saat mendengar suara dari kejauhan. Itu adalah suara dari kawanan yang mengejarnya tadi. Tunggu dulu, lalu yang ada di depan ini? Ia kembali mendongak dan mencoba menjernihkan pandangannya dengan sedikit menggeleng.

"Ternyata ada, ya, werewolf yang merepotkan seperti ini. Kau hanya akan menurunkan harga diri clan kita kalau sampai mati begitu saja di sini. Bahkan para vampire itu saja belum sempat menangkapmu, kau sudah se-sekarat ini."

'Clan.. Kita?'

"Kau?"

Bukannya mendapat jawaban, yang ia dapat justru rasa melayang saat tubuhnya tiba-tiba terangkat. Benar, sosok tak dikenal yang ada di depannya tadi tiba-tiba saja sudah mengangkat tubuhnya, membawanya bak hewan buruan di atas bahu lebarnya.

"Apa jadinya kalau tadi aku tak melihatmu?"

Seruan sosok tersebut membuatnya tanpa sadar kembali terkekeh.

"Maka aku sudah jadi kantung minuman untuk para vampire, hahaha."

"Bodoh."

"Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa tau?"

Sang sosok terdiam, enggan menjawab dan terus berlari kencang di tengah kegelapan dan ribuan pohon. Ia sendiri tak mengharapkan jawaban. Tak terlalu peduli juga. Ia hanya ingin beristirahat sejenak, memejamkan mata dengan angin malam yang membelai wajahnya, hingga ia benar-benar terlelap di atas pundak sosok yang tak dikenalnya tersebut.

*****

Red Organdy | WenXuan - Zhenyuan ✔Where stories live. Discover now