Sumber Kekuatan Besarku

350 35 14
                                    

❤️❤️❤️

Sumber kekuatan besarku adalah doa
Apapun warna kesulitanku
Asal aku berserah diri pada-Nya
Semuanya terasa mudah

☆Pitaloka☆


"Aku mohon kamu-"

"Pitaloka, kamu di kamar? Ngapain, kamu? Lagian lama amat sih bikin tehnya!" gerutu Widya sambil melangkah ke kamar Pitaloka-ia sengaja menyusul gadis itu karena gadis itu lama tak kembali ke ruang tamu. Rupanya, suara gadis itu terdengar hingga gendang telinga Widya. Saat tiba di depan pintu kamar Pitaloka, Widya langsung saja membuka pintu itu, dan terlihat Pitaloka sedang terbujur di ranjang kamarnya dengan ditemani Iskandar. Entah, Andra ke mana? Mungkin saja ia melompat keluar lewat jendela.

"Kenapa lagi? Pingsan?"

"I-iya, Bu," balas Pitaloka sambil berusaha bangun dari tempat tidur.

"Dasar tukang pingsan! Ngrepotin orang! Jangan-jangan punya kelainan, kamu!" sinis Widya.

"Ma, jangan gitu dong sama Kak Pita!" nasehat Iskandar.

"Udah lah, lebih baik ke depan sekarang! Pak Abbas dan keluarganya udah lama menunggu!" Widya melenggang pergi. Lalu diikuti Pitaloka dan Iskandar. Namun sebelum ke ruang tamu, Pitaloka membawa baki berisi air teh manis yang telah dibuatnya tadi. Meski teh itu sudah agak dingin, tetapi tak mengurangi kekhasan rasanya.

Saat hampir tiba di ruang tamu, Widya berpura-pura menyayangi Pitaloka dengan sedikit merangkul gadis itu. Pitaloka seperti pernah merasakan ini. Ia bisa merasakan kehangatan dari seorang ibu meski ini hanya suatu kepura-puraan.

"Maaf yah lama," ucap Widya. Widya pun duduk, begitupula dengan Iskandar. Sementara Pitaloka menyajikan teh manis yang dibawanya. "Silahkan, Pak, Bu, diminum tehnya!" ucap Pitaloka sopan. "Iya, Nak. Terima kasih," balas Abbas-abi Abdullah. Usai menyajikan itu, Pitaloka duduk di samping Widya.

"Jadi, bagaimana, Nak Pitaloka? Apa menerima khitbahan kami?" tanya Abbas. Pitaloka tampak diam berpikir. "Menerima, Mas. Pitaloka sudah menerimanya," potong Ardhito cepat. Ia tak mau jika rencananya menjodohkan Pitaloka dengan Abdullah harus gagal karena pendapat gadis itu.

"Benar begitu, Nak?" tanya Abbas sekali lagi.

Pitaloka mengangguk. Ia tak kuasa membantah ayahnya. Ia akan menurut saja walaupun keputusan ini benar atau tidak.

"Alhamdulillah," ucap lega semua penghuni ruangan itu, kecuali Pitaloka dan Iskandar. Pitaloka diam menunduk sembari menetralisir perasaannya yang tak karuan. Ia bertekad untuk melupakan khayalannya bersama Ali di suatu hari nanti.

Abdullah menatap Pitaloka dengan senyum manis. Ia tak menyangka jika dirinya akan dijodohkan dengan gadis yang akhir-akhir ini tampak memenuhi pikirannya. Ia benar-benar senang bukan main. Dari sorot matanya terpancar ketidaksabaran untuk menghalalkan gadis itu.

"Eheem." Abdullah berdehem untuk menghilangkan kecanggungan. "Paman, Bibi, bolehkah saya mengajak Pitaloka mengobrol di teras?" tanya Abdullah pelan.

"Boleh, silahkan, Nak!" Ardhito mengizinkannya.

"Terima kasih, Paman!" Abdullah berdiri dan beranjak ke teras terlebih dahulu.

Widya berbisik pada Pitaloka. "Kalau diajak ngobrol, jangan diem aja!" Pitaloka pun mengangguk tanda menyanggupi kemauan Widya.

"Saya ke depan dulu, yah!" Izin Pitaloka. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke teras-menyusul Abdullah.

Saat telah tiba di teras, mendadak Pitaloka merasa canggung. Ia mendudukkan dirinya perlahan di kursi yang berhadapan dengan Abdullah.

Ketika Introvert BicaraWhere stories live. Discover now