• the day

734 39 7
                                    


Suara musik dengan beat yang kencang memenuhi kelab malam yang kudatangi bersama empat temanku. Riuh dari suara pengunjung berpadu dengan musik yang yang dimainkan pemusik elektronik di balik audio mixer.

"Cheers!"

Sorak kami berdelapan dilanjut dengan menenggak segelas bir yang telah dipesan oleh Corbyn. Aku memejamkan mata begitu minuman beralkohol itu memberikan sensasi terbakar yang anehnya sangat menagih untuk diteguk kembali.

"Hey, Jack, satu gelas lagi?"

Aku menoleh pada Corbyn yang berdiri di sebelahku sambil menggenggam sebotol bir di tangannya. Aku menggeleng, segelas bir kurasa sudah cukup ketimbang harus teler akibat efek dari berbotol-botol kandungan alkohol.

"Tidak, terima kasih," tolakku pelan.

Lelaki berpostur tubuh tinggi yang kini berambut cokelat ini terkekeh. "Ah, ya, kau tidak ingin Gabby dan Lavender muntah hanya karena mencium bau mulutmu."

Aku tertawa. "You got it right, bro."

Sejak memiliki seorang putri dengan istriku, aku berusaha sebisa mungkin untuk menghindari rokok, alkohol, dan para temannya. Aku ingin melakukan yang terbaik untuk putriku. Aku tahu dia masih berusia satu tahun lebih lima bulan dan belum memahami apa yang kulakukan di luar rumah, tetapi aku tidak ingin secara tidak sadar mengeluarkan efek dari apa yang kulakukan di depannya. Bisa atau tidak, aku harus membiasakan diri sejak awal.

Aku tidak melakukan banyak hal selain ikut berbincang, tertawa, menari, dan menyanyi. Di tengah-tengah musik yang masih menghanyutkan beberapa orang untuk menari, aku menghampiri lelaki berambut pirang kotor di meja bar. Dia tengah memesan segelas minuman lagi.

"Hey, Daniel," panggilku seraya menepuk pundaknya.

Daniel menoleh. "My man, Jack!" sapanya dengan senyuman lebar.

"Jangan minum terlalu banyak. Kau yang menyetir," peringatku. Sebenarnya bisa saja aku yang menyetir, masalahnya lelaki di depanku ini akan berubah sensitif jika Tesla putihnya disentuh orang lain tanpa izin darinya.

Seorang barista memberikan segelas minuman pada Daniel. Daniel mengacungkan gelas itu ke depanku, aku menggeleng. "Aku akan tetap sadar, kau tenang saja," ujarnya lalu segera menenggak minumannya hingga kandas.

Sama seperti caranya, aku berusaha meyakini ucapannya di dalam diriku. Pandanganku beredar hingga bertumpu pada Zach. Dia sembilan belas—dua tahun lebih muda dariku. Usianya yang belum mencapai legal tidak membuatnya takut untuk mengonsumsi banyak alkohol, bahkan aku sering mendapatinya pingsan di toilet. Aku menggeleng namun tak menyangkal kenyataan bahwa aku juga pernah di posisi Zach, ketagihan di usia yang belum sepantasnya. Dunia malam memang semenggiurkan itu, kawan.

Why Don't We, adalah nama band yang telah kami berlima rintis selama empat tahun terakhir. Hari ini bisa dikatakan hari terbaik setelah terbentuknya band kami. Merilis album kedua, mengadakan promo kepada para penggemar, merayakan bersama keluarga dan teman. Dan pukul delapan tadi, salah seorang staff mengabarkan jika album kami meraih posisi tertinggi di beberapa negara bagian. Tentu saja kami senang bukan kepalang. Kemudian atas ide Corbyn dan Jonah, kami pun memutuskan untuk pergi ke kelab ternama di Los Angeles ini. 

Musik dan kesenangan turut menghanyutkan waktu. Tepat ketika jam menunjukkan waktu tengah malam dan tanggal telah berganti, kami akhirnya pulang. Aku dan keempat rekan bandku lainnya berada di mobil Daniel, sedangkan staff management lainnya berada di mobil yang berbeda dan keluar dari area kelab dua menit lebih dulu.

Sesuai dengan yang kukatakan, Daniel yang mengemudi. Dia bersikeras mengatakan bahwa dia masih cukup sadar. Dari pandanganku pun dia terlihat segar, jika aku tidak salah menilai. Pun Daniel segera duduk di kursi balik kemudi, aku di sampingnya, dan di kursi belakang ada Corbyn, Jonah, dan Zach.

StuckWhere stories live. Discover now