• the only hope

221 7 0
                                    

"Hey, Jack, kau ingat aku?"

Butuh beberapa detik sampai akhirnya aku mengenali siapa pemilik suara nyaris seperti bisikan ini. Dokter Jess. Ini pertama kalinya wanita itu mendatangiku, seakan sekarang adalah satu-satunya waktu yang ia sempatkan.

"Dengar. Aku ke sini dengan berusaha tak diketahui oleh dokter Joshua dan para perawatnya. Jadi kurasa aku tak memiliki banyak waktu di sini."

Dan ternyata memang benar adanya. Dokter Joshua melarang siapa pun kemari tanpa kehendak darinya. Betapa angkuhnya pria itu.

"Jack, Jonah." Dokter Jess mengembuskan napas pendek. Terlalu banyak kata yang bingung harus disampaikan dari mana. "Ini sudah lebih dari setengah tahun sejak kecelakaan kalian. Dan aku tidak tahu seperti apa persisnya keadaan kalian karena mereka—para perawat—melarangku melihat hasil pemeriksaan kalian. Kuharap mereka menangani kalian dengan semestinya."

Tidak. Mereka membunuh sahabatku dan kini tengah mencoba melakukannya pada kami secara perlahan. Tidak jarang aku merutuki takdirku yang berjalan lamban. Mereka seolah-olah mempersulit perjalanan malaikat pencabut nyawa pada diriku.

"Dan ... aku sangat sangat minta maaf pada kalian, terutama padamu, Jack. Sebagai dokter, aku merasa gagal saat melihatmu kesakitan waktu itu. Aku tahu jelas apa yang dilakukan dokter Joshua saat itu tidaklah benar, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku masih residen dua tahun di sini, sedangkan dokter Joshua sudah hampir lima tahun."

"Aku tak bisa melakukan apa-apa untuk mengambil alih menangani kalian berdua," tutup dokter Jess, nadanya terdengar penuh sesal. Nada yang mewakili betapa isi kepalanya berporak poranda belakangan ini.

Dia tidak seharusnya meminta maaf atas kesalahan yang bahkan tak dilakukannya. Tapi kurasa dia masih bisa melakukan sesuatu. Hanya saja yang menjadi masalahku adalah bagaimana cara agar aku bisa mengatakan padanya?

"Sejujurnya aku penasaran separah apa keadaan kalian," ujar dokter Jess pelan. Tapak sepatu tingginya terdengar dua langkah lebih dekat.

Dapat kurasakan dia sedikit menarik selimut dan mengangkat pakaianku ke atas. Kutebak dirinya tengah memeriksa keadaan perutku yang dulu pernah terluka parah.

"Jahitan yang cukup lebar," gumamnya, tetapi masih terdengar olehku. Dikembalikan posisi pakaian dan selimut seperti semula. Derapan langkah dari luar menyentaknya. "Sepertinya aku harus pergi."

Tidak. Jangan dulu. Dia harus mengetahui apa yang terjadi padaku. Hanya dia satu-satunya yang bisa membantuku.

Tapi bagaimana caranya? Aku bahkan hanya laki-laki lemah yang terbujur tak berdaya di bangsal rumah sakit.

Sial. Aku panik.

Jack, tetap tenang dan berpikir.

Aku tahu, aku harus melakukan sesuatu. Aku berusaha. Bahkan setiap hari aku tak pernah berhenti mencoba untuk menunjukkan perubahan. Tak pernah usai kukerahkan seluruh kepercayaan pada diriku, berharap membuahkan hasil yang berpersentase kecil.

Aku bukan seseorang dengan tipe religius, tetapi aku beragama. Aku percaya pada Tuhan. Sedikit menyesal karena sebelum ini aku jarang meminta pada-Nya. Kini aku menyerahkan seluruh jiwa, meminta kuasa-Nya untuk membantuku kali ini saja. Berharap Dia mendengarkan manusia banyak salah sepertiku. Karena kuyakin Dia melihat waktuku yang tidak banyak. 

Batinku terhenyak ketika merasakan hangatnya cairan bening yang tiba-tiba mengalir dari sudut mataku. Aku menangis, lagi. Andai bisa, aku mungkin sesenggukan sekarang. Nyaris menyerah atas ketidakberdayaan.

Air mata ini juga menjadi bentuk permohonanku pada dokter Jess untuk peka pada pertanda yang—setidaknya—berhasil kukeluarkan.

"Sekali lagi, ma– tunggu, Jack?" Harapanku kian melambung tinggi. Bibirku bisa saja tersenyum penuh harap. "K- kau menangis?"

StuckWhere stories live. Discover now