• surrendered

201 8 0
                                    

Awalnya kupikir apa yang dokter Joshua alirkan di tubuhku tidak bereaksi. Tetapi setelah beberapa jam terlewati, aku merasakannya.

Dada kiriku mulai terasa nyeri. Begitu juga dengan perutku yang disertai rasa mual tetapi tak bisa kukeluarkan. Semakin kutahan, aku semakin dingin dan menggigil.

Dan mungkin karena itu, aku sedikit demi sedikit mampu menggerakkan jemariku. Bahkan sesekali mengeluarkan lenguhan. Hingga pada akhirnya, hal yang selama ini kuperjuangkan terwujud. Aku perlahan menggerakkan kelopak mataku untuk terbuka. Rasanya kaku dan aneh. Mulanya buram dan perlu kedipan beberapa kali untuk memperjelas penglihatanku.

Tidak. Ini aneh. Aku tidak merasa lega, senang, apa pun itu. Karena aku tidak ingin bangun dalam keadaan seperti ini. Dengan hati yang rapuh, dan rasa nyeri yang semakin menyempitkan ruang bernapasku. Bahkan selang oksigen yang tersemat di hidungku tidak membantuku bernapas.

Rasa nyeri ini semakin menghantam, membuat tanganku reflek menyentuh dada dan meremas pakaianku. Aku mengeram, menahan rasa sakit yang kian menyiksa.

Aku menyapukan pandangan dan menemukan hanya ada diriku di sini. Di mana Jonah? Apa yang mereka lakukan pada Jonah?

Aku tidak bisa mengontrol pikiranku untuk tetap tenang. Bayangan-bayangan buruk menggerayangi benakku.

Aku memejamkan mata erat sambil berusaha mengimbangi rasa sakit dan laju pernapasanku.

"To ... long ... aku ...," lirihku.

Tanganku berusaha meraih apapun yang bisa kujangkau dan berhasil merobohkan tiang infus di samping bed.

Usahaku berhasil karena seorang perawat langsung menghampiriku dengan khawatir. "Jack, apa yang terjadi?" tanyanya panik sambil kembali menidurkanku.

"Perawat Emma ... dadaku ... sakit ...," keluhku. "Aku ... tidak ... bisa b- bernapas ...."

Perawat Emma tampak terkejut ketika aku menyebut namanya, namun kini yang terpenting untuknya adalah membantuku. Perawat Emma mengganti selang oksigen dengan masker oksigen. Setelah mengatur kadar oksigen di tabung, aku merasa sedikit merasakan pasokan oksigen kembali meski masih tersendat-sendat.

"Jack, tenanglah! Bernapas dengan perlahan." Perawat Emma menuntunku menormalkan pernapasanku. "Apakah dadamu masih sakit?"

Aku mengangguk.

"Apa lagi yang sakit?"

"Perutku kram dan mual," jawabku masih melirih.

"Gawat," gumamnya.

"Perawat Emma ... dimana Jonah?" tanyaku dengan susah payah.

Perawat Emma terhenyak. Bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu namun tidak kunjung terucap.

"Perawat Emma ...."

"Ada apa?" Dokter Joshua tiba-tiba muncul dari balik tubuh perawat Emma. Perawat Emma otomatis mundur.

Dokter Joshua mengamatiku yang masih berusaha meredam rasa sakit dengan segala cara. Dia mendekatkan wajahnya.

"Jangan terburu-buru, Jack. Perang belum dimulai," bisiknya tepat di telingaku.

"Kau– argh!" Sial. Mengapa rasa sakit ini menghalangiku.

Dokter Joshua menegakkan tubuhnya. "Bawa dia sekarang."

Beberapa perawat termasuk perawat Emma menggiring bed ku keluar ruangan sampai ke sebuah ruangan seba hijau yang lebih luas. Dokter Joshua kembali mendekatiku dan menyentuh pipiku, mendorongnya kasar hingga aku menoleh ke samping kanan.

StuckWhere stories live. Discover now