• wrong hands

509 30 10
                                    

TW // blood, abuse, injury, violence, etc.
CW // medical content

---

"Pasangkan elektroda."

"Pasien kehilangan banyak darah."

"Ambil stok darah lagi dan pasang oksigen enam liter."

"Ada cedera di dadanya, kurasa tulang rusuknya patah. Kemarikan sekantung es!"

Suara-suara itu terdengar beriringan dengan sirine ambulans. Tak kusangka aku masih hidup setelah napasku seakan terputus begitu saja. Meski sejujurnya aku telah merasa sangat lemah, aku memaksa untuk membuka mata. Untuk beberapa detik pertama, pandanganku mengabur.

"Hey, kau sadar?"

Aku mengalihkan pandangan ke samping, mendapati wanita bermasker dan bersarung tangan. Agaknya wanita itu adalah salah satu anggota tim medis darurat yang menanganiku selama perjalanan ke rumah sakit. Kemudian aku merasa dadaku yang nyeri terasa dingin akibat sekantung es yang dikompreskan di atas dadaku.

"Tetaplah sadar. Jangan tutup matamu, bernapaslah secara perlahan," titah wanita itu padaku. Tangan wanita itu merogoh isi kantung celanaku hingga ia menemukan dompet hitam yang selalu kubawa kemana pun. Dia memeriksa kartu identitas lalu memberikan kepada rekannya. "Jack Robert Avery, 20 tahun, California."

Wanita itu kembali menatapku. "Kami harus mengetahui identitasmu." Seakan ia khawatir jika aku akan menuduhnya berlaku kriminal.

Aku tidak sanggup bicara. Aku hanya bisa mempertahankan mataku untuk terus terbuka—sesuai perintah wanita itu. Sementara ada seseorang lainnya yang dengan setia memegangi kantung oksigen yang tersambung di masker oksigen yang tersemat di sebagian wajahku. Meski pasokan oksigen bantuan memasuki jalur pernapasan, dadaku seperti menolak. Perutku bahkan tak sanggup mengembang dan mengempis layaknya manusia bernapas normal.

"Dokter Jess, darah di perutnya tidak berhenti keluar," lapor salah satu orang lainnya dengan nada panik di suaranya.

Kepalaku kembali pening. Pandanganku mulai berkunang-kunang.

"Ruptur bisa saja terjadi. Berapa lama lagi?" tanya wanita yang ternyata bernama Jess itu.

"Dua menit lagi," jawab seseorang dari depan.

"Sebentar lagi. Max, kau sudah menghubungi Dokter Joshua?"

"Sudah, Dok."

Dokter Jess mengangguk lalu menatapku penuh empati, tangannya menyentuh keningku sebagai isyarat untuk membuatku tenang. "Jack, tetaplah bersamaku. Berusaha tetap sadar. Jangan tidur. Kau akan tidur jika aku sudah memastikan kau akan tidur dengan aman. Oke?"

Aku hanya mengangguk lemah meski penglihatanku semakin rabun. Tanganku mencengkeram bed yang kutiduri demi menahan rasa nyeri di dada dan perutku.

Tidak berselang lama ambulans pun berhenti. Dengan sigap mereka mengeluarkanku dari ambulans begitu pintu telah dibuka. Bed yang mengangkutku digiring dengan cekatan, tetapi tetap penuh kehati-hatian.

Aku tidak kuat menahan sakitku. Mataku semakin sayu. Sekujur tubuhku lemas, layaknya tubuh yang remuk tak berbentuk.

"Jack, kau dengar aku? Tetap buka matamu!" Pekikan itu mengurungkan niatku untuk memejamkan mata.

Begitu sampai di ruangan, beberapa orang memindahkan tubuhku ke bed lainnya. Sebuah lampu disorot ke tubuhku.

Seorang dokter pria memasuki ruangan tertangkap di penglihatanku. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya tanpa ekspresi.

StuckWhere stories live. Discover now