• rescue effort

209 6 0
                                    

Mungkin ini telah terhitung berjam-jam sejak aku dan Jonah memilih untuk diam. Dia dengan segala kepasrahannya, dan aku dengan kebingunganku. Entah aku harus tetap diam atau melakukan sesuatu.

Tetapi apa yang bisa kulakukan? Fakta bahwa aku hanya terduduk di ubin dengan mata terus memperhatikan mereka yang tak kunjung menjauh dari tubuhku telah membuktikan jika tidak ada yang bisa kulakukan.

Jonah juga hanya diam. Dia berdiri dengan punggung bersandar di dinding. Wajahnya sangat tenang. Seolah dia tidak mempermasalahkan ketidakadilan yang menimpa kami.

"Kau mendapatkannya?" dokter Joshua bertanya pada rekannya yang memasukkan dua jemarinya ke dalam bedahan dadaku.

Orang itu mengangguk. "Ya."

"Ikat di situ."

Orang itu tampak terkejut, terlihat dari matanya yang membulat. "Tapi ini aorta."

Dokter Joshua berdecak. "Aku senior di sini, aku lebih mengerti darimu."

Mau tidak mau orang itu menurut dan kembali fokus pada pekerjaannya. Aku juga sedari tadi memperhatikan perawat Emma yang bertugas mengatur kadar oksigenku. Meski wajahnya tertutupi masker medis, aku dapat melihat matanya yang sesekali melirik pintu dengan was-was. 

Deg.

Aku memegangi dadaku saat merasakan dadaku seperti diremas. Ringisanku memancing Jonah ikut terduduk di sebelahku. 

"Jack, ada apa? You okay?" tanyanya khawatir.

Aku mengangguk, memejamkan mata guna menahan rasa sakit. Jantungku berdebar dengan sangat kencang. "I'm fine."

"No, you're not," ucap Jonah saat melihatku semakin mengerang kesakitan.

"D- dokter, tekanan darahnya semakin naik."

Pandangan kami teralihkan pada perawat Emma yang baru saja berbicara. 

"Kita sudah selesai," ujar dokter Joshua.

Saat aku melihat ke tubuhku, dadaku memang telah tertutup dengan jahitan lebar. Tetapi pada kenyataannya dadaku semakin nyeri. Kepalaku berdenyut hebat. Kemudian monitor pendeteksi detak jantungku tidak lagi putus-putus, melainkan berdengung panjang.

"Tidak. Jack, bertahanlah." Jonah semakin cemas. Dia meremas kedua lengan atasku dan menghadapkan tubuhku ke arahnya. Matanya penuh emosi dan berkaca-kaca, aku baru kali ini melihatnya seperti ini. "Kau tidak boleh mati. Kau harus tetap hidup."

"Begitu juga denganmu," lirihku disusul ringisan kecil di ujung kalimat. 

"Jangan pikirkan aku, pikirkan dirimu sendiri. Kau tidak boleh pergi."

"Lalu ... kenapa ... kau memikirkanku, Jonah?" tanyaku sukses membuatnya terdiam dan memandangku nanar. 

Perlahan aku menoleh ke arah di mana aku berbaring. Perawat Emma berusaha membuat jantungku kembali berdenyut dengan terus memberikan kejutan listrik padaku. Tetapi layar monitor masih setia memampangkan garis lurus. Aku bahkan bisa melihat kulitku yang semakin membiru.

Dokter Joshua yang sedari tadi hanya bersedekap tangan itu menyeringai sinis. "Semua sudah berakhir, perawat Emma. Dia sudah tiada."

Perawat Emma menggeleng sambil terus memberiku pertolongan darurat. Keringat membanjiri tubuhnya. Napasnya terengah-engah. Seolah begitu takut kehilangan pasiennya.

Kemudian pintu tiba-tiba dibuka paksa oleh seseorang. Aku bisa melihat dokter Jess dan beberapa orang memasuki ruangan. Wajah dokter Joshua menegang.

"Jack, dokter Jess datang," bisik Jonah senang seraya mendekapku, seolah ia tengah mendekap adiknya. Sedangkan aku masih terduduk lemas.

StuckWhere stories live. Discover now