• i woke up, but ...

501 31 4
                                    

Aku terbangun.

Aku belum mati.

Aku masih hidup. Tidak kusangka aku masih hidup setelah tahapan penyiksaan secara halus.

Tetapi ada yang salah di sini.

Aku tidak bisa membuka mata. Aku tidak bisa menggerakkan anggota tubuhku. Selain karena mulutku yang terjejal alat bantu napas, aku juga tidak bisa mengeluarkan suara sedikit pun. Persis seperti manekin, hanya saja aku ada jantung yang masih bedenyut di dalam dadaku.

Yang bisa kulakukan hanya mendengar apa yang terjadi di sekitarku, kupikir.

"Tulang rusuknya patah cukup parah. Pendarahannya sudah ditangani tetapi tekanan darahnya masih tidak teratur. Aku masih harus menganalisis lebih lanjut."

Itu suara dokter Joshua. Dokter yang tak pernah kusangka akan menjadi dokter senior di rumah sakit ini. Aku curiga dia melakukan penyuapan untuk bisa lulus menjadi seorang dokter. Dokter terlalu mulia untuk pria keji sepertinya.

"Apakah dia akan sadar?"

Gabriela? Itu suara Gabriela, istriku. Gabriela, andai dia tahu jika aku bisa mendengar dan merasakan keberadaannya di sini.

"Kita harus menunggu dua puluh empat jam."

Aku yakin itu hanya gimiknya semata. Dia sengaja membuatku terjebak di keadaan yang seperti ini, entah sampai kapan, mungkin sampai ia puas. Kudengar langkah kaki yang menjauh.

Tanganku hangat akan genggaman seseorang. Lambat laun suara isakan menyusul, mengiringi bunyi monoton yang—jujur saja—sangat mengganggu.

"Kau bilang kau akan kembali ke rumah tepat waktu. Kau bilang kau tidak akan mabuk dan akan tetap sadar. Lihat? Kau jadi harus seperti ini."

Bukan maksudku menyalahkan Daniel, tetapi aku memang tidak mabuk. Aku sadar seribu persen saat kecelakaan itu. Aku melihat dengan mata telanjang bagaimana truk roda enam tanpa lampu depan itu menelan jarak ke arah mobil sedan di tengah persimpangan raya.

"Awalnya aku tidak percaya, aku berharap yang menghubungiku hanya salah sambung. Tetapi mereka tahu nama lengkapmu, tanggal lahirmu, dan identitas pribadimu lainnya."

Gabriela menjeda. Sepertinya tengah menghapus air matanya yang tidak berhenti keluar. Yang benar saja aku harus terus menebak-nebak tingkah lakunya.

Sisi pria sejatiku sangat ingin menghapus air matanya dan sisi pria lemahku mengadu jika aku ditangani oleh dokter yang salah. Namun, sisi apapun yang ada pada diriku tidak lagi berkuasa. Rasanya seperti mati, tetapi hidup. Mereka membuatku tak berdaya.

"Lavy tidak ikut, dia bersama Mom sekarang. Aku akan membawanya ke sini setelah keadaanmu setidaknya membaik."

"Jack." Genggamannya semakin mengerat. Bisa kubayangkan kukunya masih tertempel kutek berwarna merah muda yang kemarin kupoleskan di sana. "Kau adalah satu-satunya orang yang mengusir rasa takutku. Tetapi sekarang kau yang membuatku takut. Aku sangat takut kehilanganmu, Jack. Tolong bangunlah, hilangkan ketakutanku. Aku dan Lavy masih sangat membutuhkanmu."

Tak tertampik aku juga takut. Aku takut tidak bisa lagi bangun untuk melihatnya dan putri kami. Aku takut mereka benar-benar membuatku pergi tanpa berpamitan.

Gabriela terisak, lagi. Isakan yang menggambarkan seberapa besar ketakutannya. Aku bahkan bisa membayangkan wajah sembapnya. Lalu aku merasa setitik cairan hangat menetes di punggung tanganku. Apa lagi jika bukan air mata Gabriela?

Aku ingin menangis, tetapi untuk mengerahkan emosi saja aku tak bisa.

Aku tidak ingin seperti ini selamanya. Aku harus melawan. Aku harus bisa.

Ayo, Jack. Buka matamu, genggam tangan istrimu. Bangunlah, Jack. Jack, buka matamu dan lepaskan alat-alat ini dari tubuhmu!

Sekeras apa pun usahaku, aku tetap tak bisa. Bahkan tak ada satu orang pun yang akan menyadarinya. Karena yang akan mereka lihat hanyalah aku masih tertidur pulas dengan bantuan alat-alat medis.

Harapanku ada di dua puluh empat jam ke depan.

stuck is the shortest story I've ever wrote, aha.

sekalian riset buat next ff, kalian lebih suka gaya bahasa yang 'aku-kau' atau melokal jadi 'lo-gue' ? dan kenapa?

thanks and stay safe!

—rin.

StuckDonde viven las historias. Descúbrelo ahora