• one week

434 29 4
                                    

Kegelapan adalah yang telah kulihat selama seminggu terakhir. Tanpa gerakan. Tanpa suara. Hanya berandalkan indera perasa dan pendengar. Mendengar isak tangis dan kalimat penguat dari orang-orang yang bergiliran membesuk. Entah itu teman, manajer, ataupun tim manajemen. Terkadang membuatku lelah berjuang, tetapi aku tahu aku harus tetap berusaha.

Meskipun diriku sendiri tak tahu bagaimana caranya.

Sejauh yang kudengar, keempat temanku juga dirawat di rumah sakit ini dan ruangan kami berjejer. Dalam hati aku bertanya, bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka mengalami hal yang sama denganku alias ditangani oleh dokter gadungan itu? Aku harap tidak. Cukup aku yang merasakan semua ini.

"Kemarin aku dan Lavy membeli skateboard dan helm juga. Kau tahu? Dia memilih helm yang bergambar Spiderman, padahal aku sudah memilihkannya kartun perempuan lainnya. Dia bilang, 'No, Mom, Dadda loves Spiderman.' Dia mencarimu, dan aku selalu mengatakan jika kau sedang beristirahat." 

Gabriela berhenti dan menghela napasnya. "Dia merindukanmu. Tidak, kami semua merindukan kalian."

Kalian? 

"Mungkin kau perlu tahu. Daniel dan Jonah juga belum siuman sampai saat ini. Bahkan kupikir Daniel lebih parah darimu. Hampir setiap hari aku melihat Keri dan Anna menangis, mereka sangat terpukul. Sama sepertiku, hanya saja aku ingin terlihat kuat demi Lavy. Tetapi aku kasihan pada Jonah. Keluarganya belum ada yang menemaninya meski mereka sudah mendengar kabar tentangnya. Yang menemaninya setiap hari Eben dan Tatum."

Jonah. Tertua di grup, juga yang paling dewasa. Para penggemar menyebutnya 'daddy of the group' dan telah menjadi gelar yang mendarah daging. Jonah membawa suasana menjadi positif. Gemar mengingatkan dan mendoakan seseorang agar memiliki hari yang cerah. Tetapi lupa bagaimana untuk membuat harinya sendiri cerah. Mungkin dia akan menyangkal dengan mengatakan jika dirinya bahagia memiliki teman yang sudah seperti keluarga. Namun, sebuah fakta jika keluarganya tidak pernah mendukung apapun yang dilakukannya sehingga membuat mereka tidak pernah pertemu sejak pertama kali Jonah menjajalkan diri di bidang musik—impian yang telah ditentang sejak kecil. Jonah tetap memilih karirnya ketimbang keluarga yang penuh dengan tekanan. Karena itu, pertemanan yang kami berlima jalin sudah seperti keluarga sekandung.

Aku harap Jonah serta Daniel bisa cepat siuman dan tidak mengalami apa yang kurasakan.

"Corbyn dan Zach sudah siuman sejak beberapa hari yang lalu. Tetapi Zach masih belum mampu bangun karena tulang bahunya patah. Jika Corbyn, mungkin dia akan cepat recovery karena Christina kembali padanya."

Mendengarnya aku cukup merasa lega. Setidaknya tidak ada korban jiwa dari kecelakaan besar itu. Atau belum ada.

"Gabbs!" Pekikan itu terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka secara paksa.

"Kay? Ada apa?"

Kay adalah kekasih Zach selama tiga tahun terakhir.

"Daniel ...."

Ketika nama Daniel disebut perasaanku mendadak resah. Ketakutan melanda lebih besar ketimbang saat bahaya mengancam diriku sendiri.

Kumohon, Tuhan, jangan biarkan hal buruk terjadi padanya. 

"Ada apa dengannya?" tanya Gabriela mulai panik. 

"Di- dia ... keadaannya keritis. Keri jatuh pingsan." Sedetik setelahnya, Gabriela mencium keningku dan mengatakan dia akan segera kembali.

Ruangan kembali hening. Jika bisa, aku ingin mengembuskan napas gusarku. Kesunyian yang hanya diisi dengan bunyi monoton dari monitor teramat memanifestasikan.

Daniel adalah salah satu orang yang paling dekat denganku. Dia bisa menjadi kekanakan seperti Zach, tetapi juga bisa menjadi dewasa seperti Jonah. Suatu hari, ketika kami melaksanakan tour yang mengharuskan kami jauh dari keluarga, gejala kecemasan menguasaiku, dan dia lah yang ada di sampingku. Memang, dia kesulitan menenangkanku, tetapi dia tidak meninggalkanku sampai kecemasanku menghilang. Daniel benar-benar sahabat yang baik. Semua orang menyukainya.

Dia terbiasa tersenyum dan menebar kebahagiaan ke semua orang. Tidak heran jika penggemarnya pun lebih banyak dari anggota band lainnya. Semua orang—bahkan aku sekalipun akan selalu nyaman berbicara dengannya. Daniel bertalenta, dan cerdas. Tidak ada yang kurang darinya. Dunia akan kelabu tanpa ada seseorang sepertinya. 

Aku menghitung, dan waktu telah terlewat dua jam sejak Gabriela pergi dari sini. Perasaanku semakin resah menerka apa yang bisa saja terjadi. Hingga suara pintu yang dibuka membuat harapanku mencuat. 

Seseorang itu langsung memelukku dan menangis sesenggukan. "Jack." Seraya menyebut namaku di tengah-tengah tangisnya. 

Ada apa? Mengapa kau menangis, Gabriela? Apa yang terjadi pada Daniel? Oh, Tuhan, aku tidak ingin mendengar kabar yang lebih buruk lagi.

"Jack, cepatlah bangun, jangan pernah meninggalkanku," isaknya, kepalanya menyandar di dadaku. "Daniel sudah pergi, Jack."

Duniaku membeku. Membuatku yang kaku semakin seperti batu.

"Dokter Joshua sudah berusaha menyelamatkannya tetapi Daniel lebih memilih meninggalkan kami semua. Daniel benar-benar pergi. Aku mohon kau bertahan, Jack. Demi aku, Lavy, dan ibumu. Aku mohon, Jack." Suara Gabriela tidak terdengar begitu jelas di detik-detik berikutnya akibat isakan yang menyulitkannya berbicara.

Sedangkan aku masih bergelut dengan kenyataan, bahwa tidak akan ada lagi seseorang seperti Daniel di dunia ini. 

Daniel sudah pergi. Benar-benar pergi.

Tuhan, kau tidak mendengarkanku, ya? Sebersalah itukah aku menjadi manusia, sampai kau tidak lagi mendengarku?

Dan, Joshua, aku curiga padanya. Apa sebenarnya rencana pria itu?

gws jack >_<

emosional banget nulis part ini. tega nggak tega.

anyways thank you yang masih baca cerita ini. love all of you ! <3

-rin.

StuckNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ