TDD37: The Most Dangerous Place is the Safest Place

119 13 17
                                    

Dorr. Minho sudah menembak duluan sebelum orang yang tiba-tiba membuka pintu itu melakukan sesuatu dengan senapannya. Dor. Dia menembak sekali lagi ketika orang itu hendak meraih pelatuk.

“Kaupikir bisa dengan mudah membuat kita takut? Mengalahkan? Satu lawan lima. Pikirkan itu dalam perjalanan menuju akhirat!” serunya dengan arogan. Dia merampas senapan milik orang itu dan melemparnya pada Newt yang menangkapnya dengan mudah. Tanpa memedulikan sopan santun, dia melangkahi orang yang tengah meregang nyawa itu. Sebelah tangannya terangkat memegangi telinga. “Sialan, telingaku benar-benar sakit.”

Thomas, Newt, Brenda, dan Sonya yang masih di belakangnya saling tatap, seolah saling mempertanyakan apa yang baru saja terjadi. Newt memberikan jawaban dengan mengangkat bahunya, lantas melenggang di belakang Minho. Sonya menyusulnya. Brenda mengulurkan tangannya pada Thomas yang langsung diraih. Mereka bersamaan meninggalkan ruangan IT itu.

“Kaumenemukan ruangan yang tak dipasangi CCTV, Brend?” Minho yang masih memimpin jalan menoleh ke belakang.

“Aku baru menemukan dua. Bagaimana denganmu, Sonya?”

“Aku baru menemukan satu.” Sonya memperlambat jalannya untuk mengimbangi Brenda. Dia ikut menatap layar ponsel yang memperlihatkan gambar peta, lantas menunjuk sebuah lokasi dengan telunjuknya.

“Lalu, apakah aku menuju ke arah yang benar? Kenapa tidak kalian yang memimpin jalan?” Minho berhenti, menunggu kedua wanita itu menyejajarkan diri dengannya, tapi dia tidak lantas mundur. Dia tidak akan membiarkan mereka menjadi yang pertama menerima ancaman apa pun yang mungkin menanti di depan mereka.

“Kita perlu turun satu lantai, lalu kembali ke sayap kanan,” Brenda menjelaskan.

 
***

“Lu, apa sinyal Hazza belum bergerak?”

Stephanie bertanya untuk ke sekian kali. Satu jam sudah lewat dari waktu Hazza berpamitan dari mereka. Lepas sepuluh menit, setelah menjauh berkilometer, sinyal Hazza bergerak sangat lamban. Dari layar ponsel yang diamati Lucifer, pergerakannya hanya berjarak seper sekian milimeter, menunjukkan Hazza telah lama berada di area itu.

“Sekarang malah tak bergerak sama sekali. Jangan-jangan ayahmu memang menjatuhkannya sejak tadi.” Lucifer masih menjentikkan jemarinya di atas layar ponsel, mengamati titik kecil berwarna putih itu.

“Apa kaumendengar sesuatu, Lu?” Stephanie bertanya sambil tangannya spontan menggenggam ketapelnya.

“Halusinasimu, Brit! Tidak ada suara apa pun.”

Tapi, suara itu semakin jelas, seperti keributan yang berasal dari lantai bawah. Kali ini, Lucifer menolehnya, mengindikasikan dia juga mendengarnya. Hanya sempat berinteraksi lewat tatapan mata, suara lebih keras terdengar—itu jelas orang yang berteriak. Menyusul teriakan itu, bunyi berdentum terdengar.

“Perangnya sampai ke sini!” seru Lucifer yang segera berdiri. “Ayo, Brit! Kita harus keluar dari tempat ini!” dia sudah mendekat ke pintu sebelum menyelesaikan kalimatnya. “Mati kita! Pintunya dikunci.”

“Kau tak mungkin serius, Lu!” Stephanie mulai tertular kepanikan Lucifer. Dia ikut-ikutan mengecek satu-satunya akses mereka keluar. “Kutebak, semua akses di rumah ini tak lagi dapat dibuka secara manual.”

“Tepat sekali, Brit. Mati kita!”

Stephanie menelan ludah. Ketakutan itu bukan hanyah milik Lucifer. Namun, melihat bagaimana Lucifer bereaksi, dia tahu sama-sama mengumbar cemas dan membiarkan perasaan itu menguasainya bukan langkah tepat. Dia mencoba melahirkan perasaan positif, susah payah membetotnya di antara cemas dan gelisah yang menggunung. Mencoba percaya pada peluang sekecil apa pun. Tetapi, menolak bergantung pada satu atau beberapa orang dewasa yang menurut rencana akan melindungi mereka. Walau bagaimanapun, dia harus memikirkan jalan keluar untuk situasi terburuk.

The Death DestinyWhere stories live. Discover now