TDD44: Lost, Justice, A Paradox?

100 14 17
                                    

Akhirnya, beneran sehat dan bisa ngelanjutin ini.

Satu chapter buat ThoMiNewt only.

Enjoy, guys!

-----------

O, ya. Selamat hari raya Idul Adha bagi yang menjalankan. Semoga keberkahan senantiasa mengiringi setiap langkah kita.

----------

Area pemakaman sudah ditinggalkan orang-rang sejak lima menit yang lalu. Thomas satu-satunya yang masih bertahan. Tatapan matanya tak lepas dari batu nisan bertuliskan nama kerabatnya, Gally. Namun, yang dilihatnya adalah percakapan panjang yang melibatkan dirinya, Stephanie dan yang lain malam tadi. Ada banyak yang memenuhi pikirannya karena perbincangan itu, hal-hal yang belum dapat ia kerucutkan menjadi sebuah kesimpulan. Tidak semudah itu mengambil keputusan saat ini.

Piuh. Thomas menghela napas untuk kesekian kali. Dia mengusap rambut dengan telapaknya. Bersamaan dengan telinganya yang menangkap langkah mendekat, dia menoleh. Menatap tanpa ekspresi, Newt berjalan ke arahnya.

“Kau sudah baikan?”

“Ya. Sayang sekali aku tak bisa mengikuti prosesi pemakaman karena dokter itu memintaku melakukan beberapa pemeriksaan lagi.”

“Semuanya normal?”

Newt mengangguk. Untunglah dia, Brenda, dan Anne segera mendapat penangan dan implan itu segera dikeluarkan dari tubuh mereka. Terlambat belasan menit saja, mereka mungkin tidak akan tertolong. Atau lebih buruk, mereka akan cacat seumur hidup setelah sebagian saraf mereka rusak permanen. Newt pulih lebih cepat dari yang diperkirakan dokter. Setidaknya, dia hanya membutuhkan dua hari perawatan intensif. Sementara, Brenda dan Anne masih terbaring di ICU. Terlebih Anne yang memang mendapatkan luka tembak di perutnya.

“Aku belum memutuskan,” ujar Thomas.

“Aku tahu.” Newt meraih pundak Thomas dan meremasnya kuat. Kedua matanya, sepintas melirik kombinasi angka yang masih tertato di belakang leher Thomas. “Kita masih punya dua hari. Gunakan waktumu untuk berpikir dengan tenang, Tommy.”

“Bagaimana denganmu?”

Newt menarik napas dalam, merasakan sejuk saat oksigen mengisi paru-parunya. “Aku merindukan udara di Pulau, kau tahu. Dan, setelah yang terjadi pada Lizzy, aku tidak menemukan alasan yang bagus untuk bertahan di sini.” Kepedihan yang teramat besar itu terpancar jelas dalam sorot mata Newt. “Selain itu, kita memiliki kesempatan tumbuh bersama Gally, bukan?”

Thomas menunduk. Dia melarikan tatapannya pada batu nisan. Kepedihan yang harus dia tanggung tidak akan memandang tempat, di sini atau di Pulau rasanya akan sama saja. Namun, ada banyak pelipur lara yang menunggu jika dia memutuskan kembali ke Pulau. Newt menyebutkan salah satunya, tumbuh bersama Gally. Lalu, Harriet, Aris, dan tentu saja warga pulau yang lain.

Sekarang, dia berada di tempat yang jauh lebih modern. Tetapi, kesederhanaan dan kerepotan di Pulau adalah semua yang ingin dia dapatkan kembali. Dia tidak akan ragu memutuskan andai dia belum mengenal Stephanie. Benar, gadis itu masuk ke dalam kehidupannya terlalu jauh. Sialnya, dia dengan tanpa sadar menempatkan Stephanie dalam relung kalbunya, berbagi tempat dengan sedikit orang yang sangat penting dalam hidupnya.

“Ngomong-ngomong, Minho telah membereskannya,” Thomas mengganti topik.

Newt butuh dua detik untuk memahami maksud Thomas. Thomas membicarakan soal kasusnya. Dia juga sudah mendengarnya pagi tadi lewat Deputi John bahwa kasusnya dihentikan. Sebaliknya, namanya sudah dibersihkan. Lagi pula, tidak ada yang benar-benar pernah melihat Newt melakukan pembunuhan. Tidak ada bukti otentik. Newt terlalu pandai untuk tidak pernah meninggalkan jejak.

The Death DestinyWhere stories live. Discover now