TDD11: Someone from the Past

193 27 69
                                    

4.8.19

-----------

650

“Apa sebenarnya pekerjaan barumu, Tommo? Dan bagaimana mungkin kamu sudah mendapatkan bayaran sebelum melakukan apa pun? Kamu bahkan mendapatkan beberapa pakaian baru.”

“Aku juga punya ini sekarang,” Thomas mengeluarkan sebuah ponsel dari saku jaketnya. Benda kotak berwarna hitam itu berhasil membuat Stephanie mengernyit, semakin tidak percaya. “Jangan macam-macam, Steph, karena aku bisa mengawasimu dari sini.” Thomas mengacungkan ponselnya. Dia menutup pintu, meninggalkan Stephanie yang masih tidak habis pikir bagaimana seseorang dapat sangat baik padanya yang jelas merupakan orang baru di Brooklyn.

Sebuah mobil sudah terparkir tepat di depan bangunan apartemennya. Thomas langsung masuk ke mobil itu yang dengan cepat melesat di jalan beraspal. Dia mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menatap lewat kaca spion, tersenyum kepada bayangan si pengemudi yang terpantul di sana. Dia masih belum terbiasa dengan penglihatannya yang menunjukkan pengemudi itu memang lelaki tua berusia tujuh puluhan.

Thomas memalingkan wajahnya, menatap ke samping melewati jendela kaca. Senyum merekah di bibirnya. Jalanan lengang. Kendaraan yang melintas dapat dengan leluasa bergerak sangat cepat, termasuk yang ditumpanginya. Tidak ada yang melaju di bawah kecepatan dua ratus kilometer per jam. Ya, memang secepat itu.

Hebatnya, dengan laju kendaraan secepat itu, kecelakaan lalu lintas tidak banyak. Tidak lain karena kendaraan itu memiliki sensor yang sangat canggih, dapat mendeteksi pergerakan benda-benda di sekitarnya, serta dapat berhenti mendadak meskipun tengah melaju sangat kencang. Bahkan kendaraan masa kini memiliki sistem komputasi yang terintegerasi dengan sistem lalu lintas dan Google Maps. Mobil akan berhenti secara otomatis ketika lampu merah dan jalur penyeberangan aktif. Malah, sebenarnya, pengemudi itu pasif. Hanya tinggal menekan tombol, mengatur tujuan, memilih jalur, kendaraan akan melaju sendiri sampai ke tempat tujuan.

“Menikmati pemandangan, Greeny?”

Thomas beralih lagi. Brooklyn dengan segala sesuatunya yang modern—jauh berbeda dengan Safe Haven yang semuanya masih kental dengan sentuhan alam—sering membuat benaknya merindu. Segala kemudahan yang dijanjikan dunia saat ini, dia rela menukarnya demi kembali ke Safa Haven lima puluh tahun lalu. Jujur, dia cemburu pada lelaki tua yang duduk di belakang kemudi itu, yang menua dengan orang yang dia sayangi dan terlibat dalam perkembangan dunia lima puluh tahun terakhir.

“Kadang, aku berpikir, aku tidak benar-benar sedang menjalani ini. Lima puluh tahun. Lama sekali waktu yang kulewatkan.” Thomas mengambil ponselnya. Di samping keinginannya untuk kembali ke Safe Haven, dia tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan Brooklyn, pun soal teknologi. Dia belajar cepat. Semalam, dia berhasil merakit sebuah perekam yang dihubungkan dengan ponselnya. Pagi tadi, benda seukuran lalat itu sudah dia taruh di rambut Stephani sehingga dia dapat mendengar apa pun yang dikatakan Stephanie dan orang-orang di sekitarnya kapan pun dia mau. Dengan begitu, dia tetap dapat mengawasinya meskipun berjauhan.

“Jangan katakan aku tidak mengingatkan kalian,” balas lelaki itu. Dia menoleh Thomas melewati bahunya.

“Ya, aku tahu, Gally.” Seketika peristiwa di bangsal berlantai kayu itu kembali ke hadapan Thomas. Dia mengedipkan matanya, menolak mengenang itu lama-lama. Tangannya merogoh saku, hendak mengambil sebuah earphone.

“Ngomong-ngomong, apakah aku sudah memberitahumu, Minho juga melompat ke dalam flat trans?”

Thomas menjatuhkan earphone yang dipegangnya. Kedua matanya membulat. “Minho?”

“Ya. Tidak bisa menilai apakah solidaritas kalian bertiga terlalu besar, atau kalian terlalu bodoh, atau kalian memang suka menjemput bahaya.”

“Apakah dia—”

The Death DestinyWhere stories live. Discover now