TDD19: Eyes to Eyes (part 1)

194 24 8
                                    

Debu masih mengepul pekat ketika akhirnya Thomas dan Stephanie berdiri di hadapan bangunan yang sudah rata dengan tanah itu. Garis polisi dipasang mengelilingi bangunan yang luasnya kira-kira dua ratus meter persegi itu. Beberapa polisi terlihat meninjau area itu, menginvestigasi apa pun yang mungkin mereka temukan di antara puing-puing bangunan itu. Sejumlah orang yang ikut menonton. Wartawan tak ketinggalan meramaikan sekitar.

Thomas menatap jeri puing-puing itu. Pemandangan mengerikan di hadapannya tidak bisa tidak mengembalikan ingatannya saat markas WICKED dan apartemen tempat Hans tinggal diledakkan. Kemungkinan bahwa dia akan kehilangan Brenda untuk selamanya membuat hatinya menyusut. Tidak peduli apa pun yang dikatakan Gally soal gadisnya, dia masih sangat ingin bertatap muka dengan Brenda. Kalau perlu, dia akan membawanya pulang dan dengan cara yang belum dia pikirkan, membuat Brenda menjadi sebagaimana Brenda yang dia kenal. Kini, yang tersisa dari rencana itu hanyalah harapan, bahwa peledakkan bangunan itu melibatkan Brenda. Dengan kata lain, Brenda aman di suatu tempat saat bangunan itu dihancurkan.

Apalagi yang kautunggu, Thomas? suara Gally terdengar lagi dari earpod-nya. Kembali!

Alih-alih menjawab Gally, Thomas menggunakan waktunya untuk berpikir. Dia tidak perlu diingatkan untuk membuat satu anggapan bahwa peristiwa ini bisa jadi adalah jebakan. Tidak ada yang tahu apa yang disiapkan di antara puing-puing itu jika dia nekad ikut menyisir setiap inchi area itu. Atau, tidak ada yang tahu siapa yang tengah mengintai di dekatnya. Beberapa orang bersenjata mungkin, yang siap menyergapnya.

Di samping itu, ada satu pikiran bodoh yang tak mau berhenti meracuni pikirannya, Brenda ada di sana, terjebak mungkin di ... semacam bunker, seperti yang terjadi pada Clarisse dulu. Rasanya, dia tak bisa tenang sebelum memastikan. Tak ada yang menjamin Brenda benar-benar bagian dari kelompok Sang Dalang sehingga dia sudah dipastikan selamat, bukan?

"Steph, apakah ada ruang bawah tanah di rumah ini?" Thomas melirik Stephanie.

Stephanie menolehnya. Melihat caranya menatap reruntuhan itu, Thomas yakin Stephanie juga ingin mecari tahu kebenarannya sendiri, tidak sekadar menggantungkan harapan pada prasangka-prasangka yang tak jelas.

"Ayolah, Tommo, kau tidak sedang memikirkan hal gila untuk masuk ke ruangan itu, bukan?"

Thomas mengernyitkan dahinya. Sebelum dia melontarkan komentar, terdengar Gally berujar, Gadis pintar. Jangan buang-buang waktu, segera kembali!

Thomas akhirnya mendengarkan Gally. Dia dan Stephanie menarik diri dari kerumunan, menuju mobil yang diparkir tak jauh dari tempat itu.

"Kau pikir dia baik-baik saja?" Thomas bertanya saat dia menduduki kursi kemudi.

"Meskipun dia jahat sekarang, dia tetap cerdas, Tommo. Aku yakin kau tahu itu."

Thomas mengangguk dalam hati. Jawaban itu sedikit mencurahkan kelegaan ke dalam dadanya. Untuk pertama kali, sejak dia mengetahui Stephanie adalah anak kandung Brenda, dia merasakan kebenaran itu. Andai Brenda yang berada di sisinya saat ini dan orang lain yang tengah dia cemaskan, pastilah begitu pula yang dia dengar dari Brenda. Gadis itu pandai memberikan energi positif untuknya.

Setelah Thomas memasukkan beberapa perintah, mobil itu perlahan melaju menuju sebuah jalanan di tengah perumahan yang terbilang sepi. Tak ada kendaraan lain yang melintas sehingga mobil yang mereka tumpangi melaju bebas tanpa hambatan. Itu sebelum seseorang tiba-tiba menyeberang di depan mereka, membuat Stephanie menjerit saking terkejut dan Thomas rusuh menginjak pedal rem.

"Apa kita menabraknya?" Stephanie melirik Thomas. Wajahnya tampak pias.

"Entahlah. Ayo kita periksa!" Thomas keluar dari mobil.

The Death DestinyWhere stories live. Discover now