TD38: Every Second Counted

101 14 8
                                    

Mereka merangsek cepat mendekati stasiun flat trans begitu sampai di laboratorium biologi. Tidak seperti yang lain, Thomas dan Newt terdiam selangkah di belakang pintu. Pandangan mereka memutari rak-rak yang terdapat di sisi ruangan dan di meja-meja praktikum, serta lemari pendingin dengan pintu kaca bening. Botol-botol kaca itu mendadak sangat menarik. Merasa tengah memikirkan hal yang sama, Newt menoleh Thomas yang langsung dijawab Thomas dengan anggukan.

"Lima menit untuk memeriksa lab ini!" seru Thomas seraya bergegas menuju lemari pendingin yang telah dia tatap beberapa detik.

Tanpa perlu diberi penjelasan lebih rinci, yang lain langsung memahami maksud Thomas. Segera mereka mengambil tugas masing-masing, menari antivirus atau virus yang mungkin disembunyikan di laboratorium itu.

Di salah satu sudut ruangan, Minho terbujur kaku demi membaca tulisan pada secarik kertas yang direkatkan ke sebuah alat aneh yang memiliki monitor kecil menunjukkan perhitungan waktu mundur. Tentu saja, dia segera tahu fungsi alat itu.

Brenda yang menyadari tingkah Minho, mendekatinya. Dia kira Minho menemukan sesuatu yang berguna. Sebaliknya, dia menemukan sebuah bom yang tengah diperhatikan Minho.

"Aku yakin kita tidak punya banyak waktu," gumamnya pada Minho yang tak segera menjauh dari bom itu. Dia melihat waktu tersisa empat puluh detik dan terus berkurang. Dengan suara yang lebih bertenaga, dia mengumumkan, "Tempat ini akan segera meledak. Kita harus segera pergi."

Minho mencoba mencabut bom itu saat yang lain menghambur ke stasiun flat trans. Satu tarikan dengan mengerahkan segenap tenaga gagal menggoyangkan bom itu. Merekat kuat dengan dinding rupanya. Minho berbalik hanya untuk menemukan teman-temannya kebingungan menghadap area yang seharusnya sudah bersinar keperakan. Satu detik dia miliki untuk menerjemahkan keadaan itu, Newt sudah berlari, memimpin yang lain yang segera mengikutinya.

"Tiga puluh detik," ujar Minho usai mencuri pandang sekali lagi pada monitor kecil di bom itu, lantas berlari di belakang mereka.

Mereka tengah menuruni tangga menuju lantai dua saat ledakan itu terdengar. Ledakan yang besar. Separuh gedung di sayap kanan itu hancur. Gunungan puing terlihat sampai dua meter dari batas anak tangga. Debu mengepul pekat di udara. Sesaat mereka diam hingga Thomas meneriaki agar mereka segera bergerak. Tidak ada yang tahu di mana letak laboratorium Kimia yang mungkin menyimpan bahan-bahan mudah meledak yang dapat menghancurkan lokasi itu dalam sekejap.

Di luar dugaan, dengan bunyi ledakan sebesar itu, mereka tak menemukan orang-orang menonton sambil memasang wajah penasaran dan menebak-nebak kronologisnya. Area di sekitar sekolah steril dari orang-orang. Entah karena lokasi permukiman terdekat berjarak seratus meter atau pemberitaan soal teror kelompok Dalang terlalu memengaruhi orang-orang sehingga mereka takut sekadar untuk mengecek keadaan.

"Panggil mobilnya, Minho!"

Tanpa diperintah, Minho sudah lebih dulu memainkan ponselnya. Namun, jarinya cukup lama bergerak-gerak di atas layar. Dahinya terlipat. Wajahnya angat tegang. Tampilan yang menunjukkan seakan dia tengah kebingungan.

"Mobil kita disabotase," erangnya. Dia masih sibuk menggerakkan jarinya, mencoba peruntungan menghubungi beberapa kenalan. Lewat mimiknya, Thomas bisa tahu tidak satu pun bisa dihubungi.

Tentu saja, Thomas mengangguk dalam hati. Menantang kelompok Dalang tidak akan mudah. Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencari kendaraan yang bisa dibajak. Namun, tempat itu benar-benar seperti sudah ditinggalkan orang-orang. Jalan raya di sisi mereka menjadi tidak berguna. Mereka harus berjalan setidaknya satu kilometer untuk tiba di jalan protokol dan berharap ada kendaraan yang bisa mereka tumpangi.

Dia beralih kepada Brenda, "Ke mana kita harus pergi?"

Brenda tak sempat menjawab. Sebuah mobil yang tiba-tiba merapat mengambil perhatian mereka. Mobil hitam dengan nomor polisi yang tidak mereka kenali. Demi melihat seseorang di balik kemudi, Newt mendekat hanya untuk detik berikutnya melangkah mundur seraya membidik dengan senapan. Otomatis, keempat temannya mengambil posisi siap.

The Death DestinyWhere stories live. Discover now