TDD3: He's a Threat

371 44 35
                                    

8.6.19

-----------

115

Tak jauh dari tempat mereka, dua orang tergeletak, entah pingsan atau mati. Penasaran, Thomas melangkah di belakang Newt mendekati orang itu alih-alih bergegas memenuhi titah Newt. Dari jarak yang lebih dekat, dengan sedikit bantuan cahaya remang dari bulan separuh, Thomas dapat melihat detail wajah dua orang itu. Seorang lelaki paruh baya dan pemuda seusianya. Dia membandingkan dua wajah di hadapannya dengan orang-orang di Safe Haven. Tidak perlu berpikir untuk memutuskan dua orang itu bukan bagian dari penduduk Safe Haven yang datang bersamanya.

"Kamu pikir mereka masih hidup?" Thomas ragu-ragu melangkah lebih dekat.

Newt sudah lebih dulu berjongkok di dekat kedua orang asing itu. Tampaknya dia lebih suka melakukan sesuatu ketimbang hanya bertanya dan menunggu jawaban yang tak akan datang dengan sendirinya. Tangannya menggapai pergelangan tangan laki-laki yang lebih tua, konsenterasi beberapa detik, lantas memberitahu dengan yakin, "Yang satu ini nadinya sudah tidak berdetak."

Thomas menelan ludah. Dia mengamati wajah pucat laki-laki paruh baya itu. Iba datang dengan mudahnya. Siapa pun orang itu, sungguh malang dirinya harus mati tanpa ada kerabat yang mengetahuinya, kecuali laki-laki yang lebih muda...

"Menjauh ... menjauh ..."

Newt tidak jadi meraih tangan laki-laki itu. Dia spontan melempar pandangannya kepada Thomas. "Pergi cari bantuan, Tommy!"

Kali ini, Thomas langsung patuh. Dia bergegas, lari dengan perasaan sedikit lega. Siapa pun orang itu, lebih baik jika dia selamat. Beberapa kali melihat kematin tidak menjadi sebuah alasan bahwa dia dapat bersepakat dengan mudah atas hal itu.

***

Dua hari lalu, Baggers melakukan penguburan pertama di Safe Haven. Sementara, pemuda yang selamat masih belum sadarkan diri. Dia masih ditangani oleh para Med-Jack dan dijaga secara ketat. Minho membatasi orang-orang yang hendak menjenguknya. Sebenarnya, selain Med-Jack, dirinya, serta Thomas dan Newt---yang kebetulan menemukan dua orang itu---, tidak ada yang boleh menemui orang itu atas pertimbangan yang Thomas pikir cukup bijaksana. Mereka belum mengetahui identitas orang itu dan apa yang ada di dalam kepalanya sehingga lebih baik tidak banyak orang yang berinteraksi dengannya sebelum mereka mengetahui sesuatu.

"Ada perkembangan?" Thomas bertanya seraya mengambil tempat duduk di hadapan Minho, setelah dia mengambil jatah makan siangnya.

Minho menelan makanannya lebih dulu sebelum menjawab, "Hans bilang orang itu masih koma. Katanya, seharusnya dia segera sadar. Tidak ada infeksi. Peluru itu juga tidak melukai organ vitalnya."

"Baguslah." Thomas bergumam dengan mulut penuh kentang rebus. "Sebaiknya, dia cepat sadar. Dia mungkin memiliki secuil informasi soal flat trans. Aku, Brenda, dan Aris sudah pusing berurusan dengan alat transportasi itu."

"Percobaan kalian berhasil?"

Thomas mendongak, memandang ke arah Minho yang menatapnya penasaran. Tak perlu Thomas mengatakan apa pun, Minho agaknya sudah dapat mengetahui isi kepala Thomas lewat ekspresi masamnya.

"Aku akan mengeceknya lagi setelah ini, berharap apel itu tidak membutuhkan satu bulan untuk sampai."

Minho manggut-manggut. Dia tahu sekali Thomas tidak bergurau. Sepanjang hari, dua bulan terakhir sejak Thomas kembali dari flat trans, dia ikut mempekerjakan otaknya untuk memperbaiki flat trans. Menurutnya, sama seperti yang pernah dikatakan Aris dan Brenda, itu fisika yang sangat rumit dan sulit dipahami. Tetapi, bukan Thomas jika dia cepat menyerah.

Minggu lalu, mereka berhasil mengakses peta lokasi beberapa stasiun flat trans. Anehnya, stasiun penerima di hutan itu tidak tercantum pada peta tersebut. Setelah mencoba sejak kemarin, mengira-ngira koordinat lokasi stasiun itu, mereka akhirnya dapat memindahkan tujuan transfer ke stasiun itu. Namun, percobaan mereka dengan melempar sebuah apel tak membuahkan hasil. Thomas yang menunggu apel itu di dekat flat trans tak kunjung menemukan apel itu keluar dari dinding abu-abu yang berkilauan itu. Akhirnya, dia berhenti menunggu dan memilih ikut makan siang.

The Death DestinyWhere stories live. Discover now