TDD10: Someone Else

214 29 63
                                    

30.7.19

-----------

568

"Steph, apa yang akan ..." Thomas tidak meneruskan ucapannya. Dia menjatuhkan tatapan ke tempat seharusnya Stephanie duduk. Stephanie tidak ada di sana. Dia hanya masuk ke toko tidak lebih dari tiga menit dan Stephanie sudah menghilang. Pandangannya menjelajahi sekitar. Di antara orang-orang yang dia lihat, Stephanie tidak ada. "Ke mana perginya anak itu?"

Thomas berdecak. Hampir seminggu dia terjebak dengan Stephanie. Bukan mendapat kemajuan atas pencariannya, dia justru mendapati dirinya kerepotan dengan keberadaan Stephanie. Anak itu kadang banyak bicara. Suka tiba-tiba menghilang, untuk kemudian mendadak muncul setelah Thomas mencarinya ke mana-mana. Sekarang, Stephanie melakukannya lagi.

Thomas mengusap keningnya yang berkeringat. Kakinya dilangkahkan. Sempat bingung memilih antara berbelok ke kanan atau kiri, dia dengan cepat memutuskan ke kiri. Andai kesepakatan itu tidak pernah ada, Thomas mengeluh dalam hati, seperti ketika pertama dia menyusahkan dirinya mencari Stephanie yang pergi tiba-tiba. Sepanjang jalan yang dia tempuh, dia habiskan dengan mengumpat dalam hati. Namun, dia tidak pernah bisa menyuarakan seluruh kekesalannya setelah akhirnya Stephanie muncul begitu saja. Apalagi setiap malam dia menyaksikan bagaimana Stephanie berjuang keras.

Stephanie sering memaksakan dirinya tetap terjaga dengan meminum kopi secara berlebihan. Kalaupun dia ketiduran, tidurnya hampir selalu berujung mimpi buruk. Meskipun mimpi itu sebatas membuatnya resah dan berkeringat, tidak pernah sampai terdengar Stephanie berteriak ketakutan, Thomas selalu ikut bangun tak lama setelah Stephanie terbangun. Di saat seperti itu, hanya kasihan yang dirasakannya. Kekesalan yang dia pelihara sepanjang hari hilang sudah, digantikan keinginan yang besar untuk melindungi Stephanie.

***

"Ja—" ucapannya terputus oleh pekikan tertahan.

Stephanie nyaris menjatuhkan buku yang tengah dipegangnya. Dia mengenali jenis reaksi begitu. Lututnya langsung melemas. Bau darah yang mulai tertangkap penciumannya membuat kepalanya sedikit pusing. Dia menahan tuntutan tubuhnya untuk meluruh ke lantai. Pun menahan diri untuk tidak segera berlari. Yang terbaik yang dapat dilakukannya saat ini adalah bersembunyi.

"Kamu bisa mengucapkan terima kasih padaku nanti, jika beruntung dapat bertemu denganku di surga," ujar seseorang. Siapa pun pemilik suara berat itu, pastilah sama menakutkannya dengan yang dilihat di mimpi-mimpi Stephanie.

Dengan degup jantung bertalu-talu, Stephanie mengendap-endap di tengah rak penuh buku. Dia sangat berhati-hati, mengingat bunyi sepelan apa pun yang dia sebabkan dapat menjadi taruhan yang besar bagi nyawanya. Namun, ketakutan yang besar itu tidak berhasil mengubur seluruh penasarannya. Tetap saja dia mencuri kesempatan mengintip melewati celah sempit antara ujung buku dan rak. Dilihatnya seorang laki-laki berperawakan tinggi mengenakan jubah hitam yang menutupi hingga kepalanya.

"Apa masih ada yang ingin merasakan pisauku?"

Dia nyaris terlonjak. Untunglah dia sudah terlatih menghadapi situasi begini walaupun kadar ketakutannya sama sekali tidak dapat dikurangi. Dia sudah menjauhkan wajahnya dari celah itu sebelum lelaki itu memutar lehernya. Semakin berdebar jantungnya. Semakin banyak keringat yang diproduksi tubuhnya.

"Aku bisa melihatmu."

Stephanie bersumpah dapat mendengar seringaian dalam ucapannya. Dan itu terdengar bagai sebuah bencana baginya.

"Tidak perlu bersembunyi. Aku hanya ingin mengajakmu bermain."

Sebilah pisau terbang melewati kepalanya, menancap pada buku yang berada di rak di sisinya. Demi melihat darah yang masih melumuri pisau itu, tubuhnya tersentak mundur. Kacau sudah pikirannya. Instingnya pun turut ketakutan. Dia baru menyadari kesalahannya ketika punggungnya menabrak sebuah rak kecil. Bingkai-bingkai yang ditata di rak itu berjatuhan, berikut dengan raknya. Dia sampai harus menyumbat kedua telinganya sendiri demi meredam bunyi berisik itu.

The Death DestinyWhere stories live. Discover now