14. Always a Very Best Friend (1)

553 155 24
                                    

Masih minggu ke-14 dari 35

SAlah paham dan prasangka dibiarkan kedaluwarSA.

HAjar tanpa bicara, pengin damai tanpa usaHA.

BATas sabar dilanggar, sadar menunggu terlamBAT?


Arvind mendengkus saat punggungnya membentur dinding. Refleksnya bekerja, menyingkirkan tangan Ren dan balas mendorong anak itu. "Apa masalahmu sebetulnya?!"

"Masalahku?" Ren menunjuknya. "Kamu! Suka banget sih lari dari masalah, bikin orang lain repot dan cemas!" Ekspresi Ren lagi-lagi seperti menangkap basah ia melakukan sesuatu yang buruk.

Ya, ia terlambat datang ke sekolah hari ini, menambah "dosa" yang telah dilakukannya dengan menghilang malam Minggu lalu. Namun ia punya alasan dan Ren tidak berhak memperlakukannya begitu. "Aku enggak minta kamu—" Arvind berhenti di tengah kalimat. Mami yang bikin repot semua orang dan ia kena getahnya. Tangannya yang sudah terkepal mengendur lagi. Kata-kata Wening pun terngiang. Ren hanya mencemaskan dirinya. Diam bukan solusi. Beri tahu Ren agar prasangka tidak berlarut dan bertambah. Arvind mendesah. "Kalau kamu mau tahu, aku bisa jelaskan."

Ren bersedekap, seakan memberinya kesempatan membela diri sebelum vonis dijatuhkan.

Arvind menelan ludah. "Pagi tadi, Mami mengantarkan aku terlalu awal. Jadi, aku ke warung belakang. Ternyata sedang heboh di sana. Bu Isma kehilangan ayahnya. Aki Idang biasanya ke masjid untuk salat subuh terus pulang. Tapi pengurus masjid enggak melihatnya. Bu Isma khawatir, ayahnya salah jalan karena makin pikun. Cuma ada aku di warung. Pilihanku, membantu Bu Isma menunggui bayinya sementara ia mencari Aki Idang, atau aku yang pergi."

Ren geleng-geleng. "Kamu berhasil menemukannya?"

Arvind menepuk dada. "Pengurus masjid mencari ke sekeliling kampung, aku ke jalan raya. Lampu lalu lintas di waktu subuh sepertinya jadi acuan Aki. Benar saja, sekitar satu kilometer dari gang, ada saksi, Aki dibawa orang yang menemukannya. Karena enggak bawa KTP dan lupa identitas, Aki diserahkan ke kantor polisi lima kilometer dari sini."

"Kamu barusan banget balik ke sekolah. Perlu setengah hari untuk membawanya pulang?" Sekarang Ren terdengar seperti Mami.

Arvind merangkulnya. "Hei, aku harus menunggui Aki Idang di kantor polisi sampai Bu Isma datang. Bu Isma menunggu keponakannya untuk jaga bayi dan warung. Keponakannya menunggu sepeda motor yang dipinjam teman. Temannya...."

"Sudah!" Ren mendorongnya kesal. "I got your point!"

"It happened, Ren." Arvind tertawa. "Kamu masih pengin tahu apa yang kulakukan malam Minggu?"

"Ceritakan saja. Kamu selalu punya penjelasan." Ren masih uring-uringan.

"Iya, dong. Nah, malam minggu itu, aku ada urusan ke stasiun. Dua anggota geng motor mencegat dan membawaku ketemu pimpinan mereka, Jay namanya. Orang itu ngotot ingin aku jadi anggota geng agar dapat melindungiku. Dia pikir itu balas budi karena aku pernah menyelamatkannya waktu jatuh di jalan." Arvind berhenti sebentar, heran karena Ren bergeming seolah sudah tahu. "Aku menolak bergabung, tentu saja."

"Koper Wening?" Ren berkacak pinggang.

Arvind terkejut. "Bagaimana kamu—"

"Sam lihat dua koper terikat di motormu."

"Ah...." Arvind garuk-garuk telinga. Masuk akal. Jay dan kawan-kawan pasti menciduk Sam dan Dennis juga. "Aku enggak bisa jelaskan soal itu."

Ren berdecak. "Kamu mau kabur lagi dari masalah!"

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang