7. Dance through the Storm

2.5K 403 89
                                    

Masih Minggu ke-8 dari 35

"Badai pasti berlalu."

Kalau ada yang ketinggalan, dia bakal balik lagi.


Ren mengantongi resep kacamata. Wening benar, ia perlu ganti lensa, pertambahan minus seperempat kanan-kiri tidak bisa diabaikan. Satu lagi yang harus ia pikirkan dananya. Ren enggan meminta uang kepada Ibu di luar kebutuhan rutin primer. Sudah bersyukur, SPP bulanannya masih lancar dibayarkan dan makanan selalu tersedia di meja.

Ya, Ibu sudah membantah kekhawatirannya tidak bisa kuliah. Ren harus melanjutkan pendidikan apa pun yang terjadi, katanya. Berkonsentrasi saja mengejar PTN dan prodi yang diminati. Setidaknya, satu tahun dana kuliah tersedia. Selanjutnya, Ibu percaya akan ada jalan keluar.

Ren belum sepenuhnya teryakinkan. Sejak mereka berbicara tentang masalah asuransi, memang tidak pernah lagi ia melihat Ibu menangis diam-diam. Ibu bekerja lebih keras dengan energi dan keriangan baru. Namun, senyumnya justru membuat Ren patah hati. Ia berjanji dalam hati, tidak akan menambah beban Ibu.

Alih-alih menunggu saja badai mereda, yang entah kapan, Ren bertekad menerobosnya dengan kelenturan traceur sejati, menjadikan segala hambatan hidup sebagai pijakan untuk melenting tinggi, bersalto, dan terus berlari maju.

Tekad yang entah bagaimana telah memunculkan keberaniannya akhir-akhir ini. Kalau Wening mengajaknya ke rumah sakit sebelum itu, Ren pasti akan menolak mati-matian. Di sini, Ayah mengembuskan napas terakhirnya. Aroma khas rumah sakit menguatkan ingatan itu sampai ke detail terkecil. Dadanya nyeri, tetapi ia masih bisa tersenyum untuk Wening.

Ren hafal watak sahabatnya. Wening menyembunyikan kecemasan sendiri. Kecemasan yang begitu besar sampai gadis itu lupa alasan Ren tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke sini. Wening bahkan tidak menerima panggilan teleponnya sekarang. Ren mencari-cari di kafe.

Lewat jendela kaca, dilihatnya seorang gadis berkerudung putih duduk di bangku di taman. Ren membatalkan panggilan dan bergegas keluar. Beberapa langkah di belakang Wening, Ren mendengar isak tertahan.

Kalau Wening perlu waktu, Ren akan berikan. Ia berdiri saja karena khawatir mengejutkan. Mendung membayang di kejauhan. Hujan akan membuat macet lalu lintas dan mereka akan terlambat kembali ke sekolah. Apakah Arvind kehilangan mereka? Begitu bel istirahat tadi, Arvind sudah memelesat entah ke mana. Wening dan Ren tidak sempat berpamitan, tidak mengirimkan pesan juga sampai detik ini. Wening fokus dengan masalahnya. Ren sendiri merasa aneh kalau tiba-tiba kontak Arvind lagi, apa pun alasannya.

Arvind lebih memilih teman-teman nongkrongnya waktu diajak Jesara ikut bersama mereka. Ren merasa penolakan Arvind personal terhadap dirinya, karena Arvind sudah kenal Jesara dan ajakannya bukan basa-basi.

Jujur saja, ia mulai khawatir karena Arvind sering terlambat masuk kelas dengan bau rokok menguar. Arvind sudah kehilangan kepolosan ala papan tulis sebelum digambari doodle-nya sendiri.

Ren menarik napas panjang. Ia segera mengeluarkan ponsel.

Gerakannya membuat Wening terkejut. Gadis itu buru-buru mengusap muka dengan ujung kerudung. "Aku baik-baik saja," katanya sebelum ditanya.

Ren mengangguk, melanjutkan menelepon Arvind. Seharusnya, pada jam belajar, ponsel wajib masuk loker. Namun, siapa tahu .... Dan Ren memaki diri sendiri karena membayangkan Arvind ada di warung belakang, membolos. Ia lega, panggilannya tidak tersambung. "Ning, mau balik ke sekolah?"

"Kamu enggak lapar?" balas Wening, sudah tersenyum lagi. "Aku traktir nasi bakar. Sayang banget kalau dilewatkan. Toh, kita sudah izin sampai jam tiga."

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang