10. Free Running (1)

2.1K 361 64
                                    

Minggu ke-12 dari 35

"Kilat selalu mendahului petir."

Tanya kenapa!


Sebulan berlalu sejak Ren menemukan draf iklan jual rumah di dalam novel yang Ibu terjemahkan. Karena Ibu sudah berjanji akan melibatkannya dalam setiap keputusan penting, Ren hanya menunggu diajak bicara. Tetap waspada, sambil berusaha mencari jalan meringankan beban Ibu. Sejauh ini, rumah masih aman. Mungkin Ibu mengurungkan niat menjualnya.

Namun malam itu, ia sempat tidak bisa tidur. Urusan Arvind yang membuatnya berbohong kepada kepala sekolah masih membebani, ditambah soal rumah pula. Rumah itu peninggalan mendiang Ayah, tempat Ren dan adik-adiknya dibesarkan dan membuat banyak kenangan. Kosen pintu di dapur menjadi saksi pertumbuhan mereka. Natya dan Nazhan pasti akan sangat sedih kalau tahu. Lantas, mereka akan pindah ke mana?

Ketika akhirnya Ren tertidur kelelahan, ia bermimpi buruk. Rumahnya menyusut menjadi satu kamar kecil saja, dan berempat mereka berdesakan di sudut. Mimpi itu membuat Ren terjaga, benar-benar dalam posisi duduk tersudut di atas kasur.

Error 503 Out of Resources: Brain and heart cannot process the issue due to a system overload.

Lari bebas adalah solusinya. Dengan parkour, menjejak dan melompati segala rintangan, Ren menemukan kedamaian bersamaan angin menerpa wajahnya. Ia merasakan desir darah dan denyut otot sejalan jantungnya berdetak lebih keras, memompa darah ke seluruh tubuh. Ketika temperatur badannya naik, butiran keringat pun meluncur dari kening, menggeleser ke leher, menuruni punggung di balik kausnya.

Sensasi itu membuatnya begitu bahagia sampai ia harus berteriak sekerasnya di tempat tinggi dan sepi. Pelatihnya bilang, hal itu wajar, karena badan melepaskan hormon endorfin yang menyebabkan euforia singkat tetapi kuat. Keadaan yang disebut runner's high. Keadaan yang menjadi pelariannya ketika dadanya sudah terlalu sesak dengan masalah.

Belakangan ini, ia lari dengan tujuan. Sebuah bukit sekitar tiga kilometer dari rumah. Karena dari puncaknya, ia bisa melihat jalan utama yang membelah kompleks perumahan tempat Jesara tinggal. Gadis itu selain menjadi udara pagi saat ia membuka jendela, senyumnya seperti sinar matahari yang menjadi panduan tumbuh pucuk tanaman. Ren bergidik sendiri dengan perumpamaan yang tercetus dalam benaknya. Jangan sampai Wening dan Arvind mendengarnya.

Dulu saja, Arvind meledeknya dengan gencar. Ya, kalau diingat-ingat, Jesara sudah menjadi tujuannya tanpa Ren sadari. Dua minggu setelah Ayah dimakamkan, ia merasakan banjir emosi, dan begitu saja mengajak Arvind mencari rumah Jesara, hanya berbekal nama jalan yang didengarnya sekilas dari percakapan orang. Karena malu, Ren tidak mau menelepon Jesara dulu. Arvind hendak mengetuk satu demi satu semua rumah di jalan itu. Urung karena digonggongi anjing. Mereka pulang tanpa bertemu Jesara, tetapi Ren sudah bisa tersenyum lagi. Sampai sekarang, Jesara tidak tahu soal itu. Ren menyimpan perasaannya rapat-rapat.

Di salah satu pelarian itu, ia dihentikan Jesara di depan sebuah rumah. "Ini bukan pertama kalinya kamu lari lewat sini, kan? Setelan training biru putih itu... beberapa kali aku lihat dari jendela. Ya, ampun, Ren! Cepat sekali kamu lari!"

Ren mengiakan sambil tersipu. Terbata-bata ia ceritakan tentang bukit di daerah itu yang asyik dijadikan tempat latihan parkour lintas alam. One thing leads to another. Satu pintu tertutup, seratus lainnya akan terbuka. Ketika tahu Ren suka parkour, Kei, kakak Jesara, menawarinya pekerjaan lepas dengan imbalan uang saku. Tidak muluk-muluk, Ren hanya diperlukan untuk berlari dalam uji coba drone yang dibuat Kei bersama teman-temannya.

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang