15. WAR and Peace

743 171 45
                                    

Masih minggu ke-14 dari 35

Tidak ada pesona di negeri yang telah merebut seorang lelaki dari keluarganya.

Tidak ada keindahan dalam bahasa yang melafalkan pengkhianatan.

Wening Ayu Rengganis, disingkat WAR. Perang. Beberapa jam lalu, ia masih bangga dengan namanya. Nama pemberian Ayah begitu feminin, tetapi pada inisialnya tersirat kegarangan dan kegagahan. Seolah ia dilahirkan untuk siap berperang dengan segala musuh remaja: malas, buang waktu, gabut, alay, manja, insecure ... dan ia menang.

Namun, hari ini, Wening keluar dari medan perang dengan kekalahan mutlak. Duduk di kursi belakang mobil, ia menahan air mata.

Perang melawan Ibu akhirnya memasuki babak terbuka.

Pulang sekolah, Wening menyandang tasnya sendiri di satu bahu, ransel Ren di bahu lain, menenteng ransel Arvind di tangan kiri, dan memegang ponsel di tangan kanan. Tentu saja, ia telah menumpahkan sebagian besar buku mereka di loker masing-masing, menyisakan yang penting saja untuk belajar malam ini. Dua anak itu membolos bersamaan, pasti berkaitan dengan hilangnya Arvind Sabtu malam. Wening yakin, Ren akan membuat Arvind berbicara, dan rencana mereka ke Tokyo terancam terbongkar. Mungkin tidak apa-apa Ren tahu. Arvind pasti akan berusaha meyakinkan anak itu untuk mendukungnya.

Wening sudah memesan ojek online ketika Ibu datang bersama dokter Hasan untuk menjemputnya. Perasaannya tidak enak. Jangan-jangan, entah bagaimana, Ibu tahu rencananya. So what? Kepada dokter Hasan, Wening akan tunjukkan, Ayah tidak bisa digantikan. Maka, ia naik ke mobil. Mereka membawanya ke restoran ekslusif itu lagi. Segera menjadi jelas, Ibu tidak berurusan dengan Ren dan Arvind sebelumnya. Mereka mengajaknya ke sini untuk makan malam sambil mengobrol secara "kekeluargaan". Wening mencebik dengan istilah yang dipakai Ibu. Mereka cuma bertiga, dan salah satunya bukan keluarga. Lagipula, tempat ini sama sekali tidak cocok untuk membicarakan masalah pribadi.

Sebagai tanda protes, Wening tidak mau memesan apa pun. Ibu hanya menunduk. Dokter Hasan mencoba berbasa-basi yang ia abaikan sepenuhnya.

Beberapa saat kemudian, Ibu tergagap-gagap menyatakan kebulatan tekad untuk menikah dengan dokter Hasan. Wening sudah berdiri. Sementara Ibu makin dalam menunduk, Dokter Hasan bangkit untuk mencegah ia pergi. Mungkin karena lelaki itu memohon dengan sopan, Wening duduk lagi.

Namun kemudian dokter Hasan memanfaatkan kesempatan. "Aku dengar dari Herdin, kamu cerdas dan berprestasi dalam banyak bidang. Aku dan anak-anakku senang sekali menjadikan kamu bagian dari keluarga."

"Bagaimana kalau aku bodoh? Berarti kalian cuma mau mengambil Ibu? Tapi enggak masalah. Karena aku masih punya Ayah. Ayah akan pulang enggak lama lagi dan keluargaku akan utuh. Kehadiran Anda enggak diperlukan."

"Wening!" Ibu menegur tajam.

Dokter Hasan mengangkat tangan, menenangkan Ibu, lalu tersenyum kepada Wening. "Tentu saja, kamu masih akan selalu jadi putri kesayangan ayahmu, tapi...."

Ibu menukasnya, "Ning, jangan berharap Ibu dan ayahmu rujuk. Itu enggak mungkin. Ayahmu ... sudah menikah lagi lebih dulu ... lima tahun lalu. Sudah sepakat, dia sendiri yang akan memberitahu kamu. Ibu sudah menunggu bertahun-tahun, tapi dia terlalu pengecut untuk menghadapimu. Sekarang, Ibu tidak bisa menunggu lagi. Ibu berhak bahagia." Lancar sekali Ibu berbicara seakan sudah berlatih lama.

Wening terbelalak.

Ibu mengangguk dan mengulang, "Ya, ayahmu sudah menikah lagi. Lima tahun lalu. Dengan wanita Jepang yang sudah punya dua anak."

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang