11. Let's Do It!

3.3K 396 171
                                    

Minggu ke-13 dari 35

Kalau masalahmu ada di rumah,

apakah menghindarinya berarti kalah dan pasrah?

Kalau teriakanmu tidak pernah didengar,

mungkinkah diammu membuat mereka sadar?

Arvind sungguh-sungguh mempertanyakan hal itu.

Diawali dengan Wening datang ke rumah untuk membantunya belajar. Arvind merasa ada yang aneh. Kalau itu dilakukan di kelas 10 atau bahkan kelas 11, Arvind bakal percaya spontanitas dan niat Wening. Akan tetapi, kelas 12 sudah mengubah semua orang. Wening begitu fokus pada Universitas Tokyo seperti anak panah terlepas dari busur, lurus mengarah pada target. Kalau tiba-tiba berbelok, pasti ada energi besar yang memukulnya. Sesuatu yang tidak menyenangkan.

Tiga jam bersama Wening, Arvind tidak berusaha mengorek-ngorek masalah. Ia membuat Wening nyaman dengan belajar sungguh-sungguh. Rela jadi sasaran gebukan setiap kali salah mengerjakan soal. Selepas Magrib, Arvind menawarkan diri untuk mengantar Wening pulang. Gadis itu tampak enggan, tetapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin menginap di sini.

"Mau kuantarkan ke rumah Ren? Ada Natya dan Tante Amel di sana." Arvind mengerti, masalah Wening ada di rumah. Pasti skalanya tidak main-main karena selama ini, Wening bukan gadis cengeng yang sedikit-sedikit baper. Hanya ada ibunya dan para kucing, sudah jelas siapa penyebabnya.

Wening memikirkannya sejenak, lalu menggeleng. "Pulang saja."

Arvind mengangguk. Wening berusaha bersikap biasa, belum siap terbuka. "Tante Inggit malam ini ada di rumah atau ngesif?"

"Ada di rumah." Wening menepuk-nepuk rok seragam dari remahan kue. Lalu dikemasinya gelas dan piring ke dapur, berlama-lama mencuci.

"Ning, aku belum lancar benar menghitung jarak dua bidang sejajar. Tambah dua jam lagi di tempatmu?" Arvind angkat bahu sendiri, toh tidak ada yang bisa dikerjakannya sendirian di rumah, kecuali tidur. Sudah lama ia tidak menunggui Mami dan Papi, sejak ia tidak lagi menjadi faktor penentu mereka pulang dan pergi.

Wening berbalik dengan ekspresi mendadak cerah. "Tiga jam juga boleh. Bidang Ruang kan banyak jenis soalnya. Jam sepuluh belum terlalu malam buat pulang, kan?"

Jadi, begitulah. Di rumah Wening, Arvind melanjutkan belajar Matematika sambil diam-diam mengamati interaksi antara nona dan nyonya rumah. Sang putri sengaja menyibukkan diri dengan tamu. Sang ibu berusaha keras melibatkan diri tetapi dianggap angin lalu. Wening bahkan tidak pernah memandang ibunya. Dan beberapa kali Arvind mendapati Tante Inggit menghela napas, menggeleng-geleng, bahkan matanya berkaca-kaca, sebelum akhirnya berpamitan untuk masuk kamar.

Dan itu berulang dalam seminggu berikutnya, karena Wening mewajibkan Arvind datang ke rumahnya setiap malam. Arvind tahu, ia dimanfaatkan sebagai tembok pemisah, tetapi bersabar saja menunggu Wening bercerita sendiri. Sampai suatu malam, tiga orang pemotor memepet Arvind di jalan menuju rumah Wening. Mengira mereka begal, Arvind ketakutan dan berusaha melarikan diri. Namun mereka tidak memberinya jalan. Lalu, orang terdepan membuka helm.

Jay.

Arvind hampir lupa wajah lelaki itu. Sejak meninggalkan Jay di rumah sakit, tak sekali pun Arvind memikirkannya. Penampilan Jay sekarang lebih bersih dan rapi. Kalau bukan karena dua pesepeda motor bertampang sangar yang mengapitnya, Arvind akan mengira orang itu hanya mahasiswa yang begitu gembira bertemu kawan lama.

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang