14. Always a Very Best Friend (2)

841 171 48
                                    

Di luar dugaan, Ren mengangguk. "Ya, enggak usah di-cancel, tunda saja pembayarannya. Kita bereskan masalah sebelum Wening ke Jakarta besok pagi."

"Yang kamu maksud dengan membereskan masalah adalah membatalkan perjodohan Wening dan Pak Hell? Dalam beberapa jam ini?" Arvind bersiul. Kenaifan Ren kadang menggelikan. Mungkin di mata Ren, semua bisa dibicarakan baik-baik seperti dengan Tante Amel dan mendiang Om Arsha. "Bagaimana caranya?"

"Telepon ayah Wening. Sekarang pukul 13.30. Di Tokyo pukul berapa?"

"Tambah dua jam, 15.30"

Ren melompat berdiri. "Ayo! Jangan buang waktu."

Arvind mengikutinya keluar dari restroom. "Ke mana?"

"Yang jelas, kita enggak bisa melakukan apa pun di sekolah." Ren berhenti di jendela paling belakang, mengintip ke dalam kelas. Pelajaran ke-7 dan ke-8, bahasa Indonesia.

Bu Fatma tengah membahas puisi akrostik tugas minggu lalu. Arvind geleng-geleng takjub, betapa damai suasana kelas tanpa dirinya. Diam-diam, ia penasaran, apa tanggapan Bu Fatma tentang puisi akrostiknya yang menyimpang dari aturan. Judulnya, Sahabat. Arvind menggunakan suku kata, bukan huruf, yang disusun di awal dan akhir baris. Lebih hemat, puisinya pendek saja.

"Ayo, ambil ransel dulu," bisik Ren. "Terus minta izin ke guru piket."

Arvind menahan bahunya. "Wening bakal curiga dan menghalangi kita."

"Hmm. Kamu enggak usah masuk. Tunggu saja di bawah. Biar aku yang minta izin."

Arvind menyeringai. Ribet amat. "Dompet dan hape sudah kamu pegang, kan? Bawa-bawa ransel malah menarik perhatian. Tinggalkan saja. Let's go."

Posisi berubah. Ren menguntitnya sekarang. Arvind berjalan cepat menyusuri selasar, bersikap wajar saat melewati jendela-jendela kelas. Mereka kemudian menuruni tangga setengah berlari, di lantai dasar langsung berbelok menuju benteng belakang. Pada jam belajar, pintu kecil terkunci, tidak ada satpam berjaga. Dengan mudah, Ren berlari memanjat dinding. Bertengger di atas benteng, ia membantu Arvind naik.

Gairah meletup-letup di dada Arvind. Baru kali ini ia rasakan sensasi membolos yang berbeda. Senang dan takut bercampur dengan porsi sama besar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka berdampingan melakukan pelanggaran. Ren menyalahgunakan bakatnya demi Wening. Baru kali ini pula, Arvind merasa takut. Bukan untuk dirinya. Tidak masalah ia tertangkap basah. Ren yang ia khawatirkan, catatannya sebagai siswa teladan sudah tercoreng.

Mereka naik angkot pulang ke rumah Ren dengan tujuan mendapatkan nomor ayah Wening melalui Tante Amel. Mereka tidak menghubungi Tante Inggit secara langsung untuk menghindari kecurigaan dan demi menjaga rencana Wening dari ibunya. Karena orang dewasa cenderung memperumit masalah, Arvind memikirkan alasan untuk disampaikan kepada Tante Amel. Papi membutuhkan nomor ayah Wening untuk berkonsultasi tentang Universitas Tokyo. Ya, masuk akal.

"Jangan terlalu khawatir dengan Wening," katanya kepada Ren yang tepekur memandangi lantai angkot. "Masalah perjodohan itu, kupikir, sudah dia ketahui beberapa minggu lalu. Kalau Wening enggak tangguh, pasti sudah dari dulu setres, mengurung diri di kamar, mogok makan. Tapi Wening tetap beraktivitas normal. Pergi ke Tokyo pasti sudah dipikirkannya baik-baik, dan jadi cara terakhir karena Tante Inggit enggak bisa diajak bicara. Tahu sendirilah orangtua kayak apa. Kata-kata mereka jadi titah mutlak. Melawan, berarti durhaka."

Ren mendesah, mengangkat muka untuk menatapnya. Mata cokelat di balik lensa itu seperti berpendar seiring ia tersenyum. "Vind, kamu ingat terakhir pulang bareng ke rumahku kayak gini?"

Arvind tercengang. Ia salah duga, Ren tidak memikirkan Wening. Dan pertanyaannya membuat Arvind khawatir. Bagaimana menjelaskan alasan ia menjauh dari keluarga Ren? Apakah ia berhak menyatakan kehilangan Om Arsha? Ia juga malu dengan kata-katanya yang sering salah tempat salah waktu di depan mereka. Niat menghibur malah membuat Natya dan Nazhan menangis. Ikut bersedih malah membuat Ren marah. Ucapan belasungkawanya membuat Tante Amel masuk kamar.

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang