10. Free Running (2)

2.7K 361 60
                                    

Sampai detik ini, Ren masih tersipu mengingat pujian Jesara yang berapi-api. Ia sudah bersyukur dapat mengenal para mahasiswa itu.

Begitu ia turun dari mobil di atas bukit, Salman menyambutnya langsung dengan pemaparan tugas. Ia memang selalu serius. "Ren, skenario uji coba kali ini adalah menemukan pendaki yang hilang. Lembah dan sungai di bawah enggak ekstrem. Kamu bisa turun ke sana tanpa alat. Sesampai di bawah, kamu nyalakan GPS tracker ini. Sebentar saja... lalu matikan. Pura-puranya itu jadi jejak kamu terakhir. Lalu kamu bergeser ke lokasi yang sedikit tersembunyi. Terserah, ke mana saja. Kita uji daya lacak SKiF. Saat ia berhasil menemukanmu, nyalakan lagi tracker. Kei akan menangkap sinyalmu, dan memerintahkan SKiF menjatuhkan paket yang dibawanya. Itu berarti misi SKiF berhasil."

Ren mengamati alat pelacak GPS. Bentuknya seperti kotak bedak Ibu. Saat tombol di sampingnya ditekan, tablet yang dipegang Kei berbunyi. Dalam tiga jam berikutnya, ia berfokus membantu tim. Di luar dugaan mereka, Ren mampu memberikan tiga titik lokasi uji coba dengan bergerak cepat. Masing-masing lokasi berjarak sekitar dua kilometer dari titik kendali.

Senja sudah turun ketika Salman menghentikan uji coba. Kepuasan jelas terlihat pada ekspresi lelaki itu. Sikapnya pada Ren lebih ramah. Mungkin karena pada percobaan terakhir ini, Ren menyelamatkan SKiF yang tersangkut di pohon dan nyaris jatuh.

Mereka memutar video kejadian itu berulang-ulang. Kamera SKiF merekam gerakan Ren berlari, melompat, menjadikan batang pohon sebagai pijakan untuk melenting dan menangkap benda mahal itu sebelum terempas ke tanah.

Ren mendapatkan tepuk tangan, rangkulan, dan ucapan terima kasih. Lalu mereka berdebat sendiri, gerakan Ren mirip kucing, monyet, atau tupai.

"Aku bilang sih, Ren kayak stuntman profesional." Jesara menghentikan mereka dengan solusi adil. Ren senang mendengarnya. Lebih keren daripada hewan apa pun.

Saat itu, seorang perempuan cantik berwajah indo datang. Jesara memperkenalkannya sabagai calon ipar, dan ia kena jitak Kei. River panggilannya, adalah mahasiswi kedokteran. Satu lagi contoh orang yang berhasil mendapatkan jurusan favorit dalam persaingan ketat.

Ren mendesah. Berada di antara lima mahasiswa memunculkan dua perasaan bertentangan secara bersamaan: minder dan optimistis. Minder karena ia baru kelas 12 dan ternyata ilmu yang dipelajari di SMA masih sangat dangkal. Berhenti sekolah jelas bukan pilihan. Optimistis karena mereka juga pernah diterjang badai kelas 12 dan selamat. Tentunya dengan memanfaatkan segala sumber daya: otak, kreativitas, informasi, dan kegigihan. Sumber daya yang juga Ren miliki, jadi tak ada alasan untuk takut. Ia pasti bisa.

River menanyakan minat dan rencana Ren. Mau kuliah apa dan di mana? Ren hanya menggeleng. Keraguannya memancing yang lain untuk mempromosikan prodi masing-masing.

Wah, keren, asyik, seru, hanya itu tanggapan Ren. Begitu pula saat obrolan tentang masa depan lulusan SMA dilanjutkan sambil makan malam bersama di sebuah rumah makan Padang.

"Setop, setop. Kalian bikin Ren tambah bingung!" Jesara menengahi.

Ren memandangnya, berterima kasih lagi. "Terus terang, aku memang bingung. Nilai-nilaiku enggak buruk, tapi banyak yang lebih baik lagi. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris saja yang nyaris sempurna. Apa masuk sastra saja, ya?"

Kei menepuk punggungnya. "Sebaiknya jangan memilih prodi berdasarkan mata pelajaran SMA yang paling besar nilainya atau yang paling kamu suka. Ada temanku yang jagoan kimia waktu SMA. Dengan yakin, dia pilih prodi kimia. Tahunya, kimia di SMA hanya permukaan. Sementara di perkuliahan, segala aspek kimia, bahkan kaitannya dengan fisika dan matematika, dikulik mendalam. Dan dia enggak tahan, nilai-nilainya jatuh, lalu kehilangan minat dan motivasi. Untungnya, dia segera ikut ujian lagi dan mengambil hukum sebagai gantinya."

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang