4. Life Is Always Full of Surprises

3.1K 481 139
                                    

Minggu ke-6 dari 35

"Sky is the limit."

Percuma saja kalau kamu cuma berputar-putar di darat, terjebak rutinitas.


Paginya mulai terasa sama dari hari ke hari. Ren bangun menjelang subuh dengan kepala berat, karena baru tidur lewat tengah malam. Lalu ia terkejut sendiri melihat paragraf terakhir tugas esainya seperti jeritan alien yang hanya punya jidat untuk mengetik di atas keyboard.

Rutinitas dengan adik-adiknya menjadi sarapan kedua. Membantu Nazhan membaca dan menulis memang sudah ia jadwalkan, lima belas menit sambil makan. Namun, pada praktiknya, bisa mulur lebih dari setengah jam, dan Ren tidak tega memutus semangat adiknya di saat satu kata sudah hampir dikuasai.

Lalu Natya menambah kehebohan dengan kebut PR di menit-menit terakhir sebelum berangkat sekolah. Artinya, bersih-bersih dapur pun harus Ren ambil alih. Ia tidak tega kalau Ibu lagi yang mengerjakan. Ibu selalu dikejar deadline. Menerjemahkan buku untuk penerbit, lebih banyak lebih cepat demi lancarnya pemasukan untuk biaya hidup mereka.

"Semalam, aku mengerjakan PR yang lain," kata Natya, defensif bahkan sebelum Ren menegurnya. "A-Ren tahu sendiri, guru-guru kayak pakai kacamata kuda, pura-pura enggak tahu matpel lain kasih tugas juga. Keroyokan, setiap hari bisa tiga."

Ren mengangguk, tidak berminat menceramahi Natya soal bahayanya menunda-nunda. Dengan tugas susul-menyusul, diberi waktu "longgar" pun, ujung-ujungnya, siswa harus bekerja setiap malam. Belum termasuk baca ulang pelajaran untuk persiapan ujian. Ia melirik jam dinding, masih ada 15 menit buat Natya sebelum Bu Shifa, tetangga sebelah, berangkat ke kantor. "Selesaikan cepat, keburu tumpanganmu pergi. Atau kamu mau bareng aku?"

Natya mencebik. "Enggak, terima kasih."

Ren melanjutkan cuci piring. Tidak seperti Ren yang didaftarkan Ayah langsung ke SMAGEM, Natya mencoba SMA negeri. Sialnya, nilai UN-nya jatuh terseret-seret bersama hatinya saat Ayah pergi. Masuklah Natya ke SMAGEM juga. Kelas 10 di lantai dasar, kelas 12 di lantai tiga. Sengaja atau tidak, mereka jarang bertemu di sekolah.

Guru di SMP dulu sering membanding-bandingkan Natya dengannya. Adik Ren, ya? Calon siswa berprestasi nih. Kamu suka olahraga juga kayak Ren? Kenapa kamu enggak aktif di OSIS seperti kakakmu? Dan sebagainya, yang sangat dibenci Natya. Jadi, ketika Natya meminta diberi kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri di SMA, Ren setuju. Setidaknya satu semester, rahasiakan status mereka sebagai kakak-adik.

"Selesai!" Natya bersorak, mengemasi alat tulis.

"Awas ada yang ketinggalan," kata Ren, sambil mengelap tangan yang basah. Urusan dapur juga selesai.

Benar, ada yang tertinggal, Natya berlari masuk ke kamarnya. Ponselnya di meja makan menyala. Ren melongok, terkejut mendapati nama Kenzie di layar. Minggu lalu, Natya menuduhnya sengaja mencari gara-gara dengan menumpahkan jus pada baju Kenzie. Ya, benar, Ren mengaku, itu demi kebaikan Natya. Ternyata usahanya sia-sia. Mereka sudah bertukar nomor telepon.

Natya kembali dan menyambar ponselnya, tepat saat Kenzie berhenti menelepon. Matanya menangkap ekspresi geram Ren. Bibirnya langsung cemberut. Lalu ia bergegas mengambil sepatu dan meninggalkan dapur.

"Kamu tahu berapa banyak cewek yang dibuatnya patah hati?" Ren berseru sambil mengejar.

"Aku enggak punya waktu ngomongin orang," sahut Natya.

"Hapus nomornya. Jangan dekati dia!"

Natya berbalik. "Aku enggak pernah dekati dia."

"Oh ya? Tapi enggak menjauh juga?" Ren berkacak pinggang. "Percayalah, enggak ada untungnya kenal Kenzie."

Take My HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang