BAB 19

988 115 153
                                    

"Berarti Kak Sherin kenal juga sama, Kak Ar—"

Prang!

Terdengar suara pecahan kaca. Sherin segera keluar dari kamarnya dan melihat apa yang terjadi. Ia kaget saat melihat pecahan gelas dan bundanya yang terjatuh.

"Bun, tangan bunda berdarah. Aku ambil perban dulu, ya," ujar Sherin.

Dengan cekatan, Sherin mengobati tangan bundanya. Ia bahkan sampai berlari untuk mengambil kotak P3K. Sementara Bella yang melihatnya menutup kedua matanya karena melihat darah di depannya.

"Gimana bunda, masih sakit? Atau nggak kita bawa ke dokter aja, ya? Aku takut ini inveksi."

"Nggak perlu Sherin, ini kan sudah diobatin."

"Kenapa bisa pecah, Bun?" Sherin membereskan perban dan segala macamnya setelah mengobati luka itu.

"Iya tadi bunda lari. Makanya sampai jatuh."

"Tapi beneran sudah nggak papa 'kan?"

"Iya. Oh, ya bunda ke kamar dulu ya mau istirahat. Sekaligus mau panggil Bi Ida buat bantu bersihin pecahan kaca ini." Rina mengecup singkat kening Sherin.

Hal itu membuat Bella iri, ia menjadi rindu dengan almarhum ibunya. Sehingga tak lama setelahnya, ia menangis sangat kencang di balik pintu kamar Sherin.

Mendengar tangisan anak kecil. Sherin segera kembali ke kamarnya dan melihat Bella yang tengah menangis mencang. "Bella kenapa nangis?" tanyanya bernada lembut sambil mengelus pucuk kepala Bella.

Bella menyeka air matanya, "Bella rindu sama ibu."

"Ya sudah, besok pagi-pagi sebelum Kak Sherin  berangkat sekolah. Kak Sherin antar pulang ke rumah, ya? Ketemu sama ibunya Bella."

"Nggak bisa, Kak. Ibu Bella udah meninggal. Kata Kak Gibran, ayah sama ibu Bella sudah bahagia di surga dan menjadi bintang."

Tentu saja hal itu membuat Sherin menutup rapat mulutnya.

Apa benar Bella ini adik kandung Kak Gibran, tapi setahuku Kak Gibran masih punya mama atau Bella ini hanya adik tiri? Hal itu terucap oleh Sherin dalam hatinya.

"Bella tunggu di sini, ya. Kak Sherin mau cari jajan dulu di luar, kamu mau arum-manis nggak?"

"Mau, Kak."

Setelah itu, Sherin mengambil sweater dan sling bag-nya kemudian keluar dari rumah.

-----

Sekitar pukul setengah delapan malam, Gibran memasuki kamar yang biasa ada Bella di dalamnya. Namun, tidak untuk sekarang. Kamar itu terasa sunyi.

Tiba-tiba netranya menangkap secarik kertas di atas meja. Betapa terkejutnya Gibran saat melihat tulisan yang ada di sana. Walau tulisan itu masih ala kadarnya, dia masih bisa membacanya. 

Sekolah.

Hanya satu kata yang tertulis di atasnya. Seketika Gibran teringat dengan pendidikan Bella, harusnya diusianya yang menginjak 6 tahun. Sudah waktunya Bella untuk bersekolah. Namun, karena sebelum ibunya Bella meninggal, beliau tak pernah mengijinkan Bella untuk bersekolah. Padahal masalah biaya, ia sudah berkata jika semua ditanggung olehnya. Entah apa itu alasannya, ia sama sekali tidak mengetahuinya.

Seseorang dari belakang menepuk pundak Gibran pelan, tetapi berhasil membuat ia kaget. Ternyata mamanya yang melakukan hal itu.

"Sedang apa kamu di sini Gibran?"

"Mama sendiri kenapa ada di sini?" Gibran justru berbalik tanya pad mamanya.

"Mama lihat kamu di sini, terus mama samperin. Ayo ke meja makan, kita makan malam."

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now