BAB 32

1.1K 106 53
                                    

Malam harinya, Gibran terdiam di dalam kamarnya dengan tangan yang masih memegang ponselnya. Semenjak pengakuan siang tadi kepada Arinta, entah kenapa ia menjadi sering tersenyum. Walau kejadian setelahnya, Arinta tiba-tiba pergi begitu saja.

Lamunan Gibran terbuyarkan oleh suara decitan pintu yang terdengar. Nampak Elsa dengan tangan membawa segelas susu cokelat masuk ke kamar dan menghampirinya.

"Kamu kenapa mama perhatikan senyam-senyum mulu? Lagi jatuh cinta, ya?" ujar Elsa sambil mengelus rambut putranya.

"Bukan soal itu, Mah," elak Gibran.

"Halah, kamu bohong. Sudah jujur saja sama mama atau jangan-jangan orang itu Arinta, ya? Kalau memang iya. Mama setuju-setuju saja. Terlebih Arinta itu anak yang baik."

Elsa memang sudah lumayan akrab dengan Arinta, semenjak ia mulai aktif mengurus kafe. First impression-nya, Arinta itu anak yang ramah, pekerja keras dan sederhana. Hal itulah yang membuat Elsa kagum pada sosok Arinta.

"Sudahlah, Mah. Jangan membahas hal itu, lebih baik sekarang Mama istirahat. Besok jadwal ke dokter 'kan?"

Elsa mengangguk. "Iya, jam setengah delapan."

"Di antar sama Kak Haris, ya, Mah. Gibran sudah telepon dia tadi."

"Mama sendiri saja. Tidak perlu merepotkan Haris segala, apalagi dia sebentar lagi akan menikah bukan? Pasti dia sedang sibuk-sibuknya dengan ini itu."

Masih ingatkah kalian dengan Haris? Seseorang yang selama ini membantu Gibran mengurusi kafe. Bahkan ia merasa jika Haris ini seperti sosok kakaknya sendiri dan dalam hitungan hari, Haris akan melepas masa lajangnya dengan menikah bersama wanita pilihan kedua orang tuanya, yang usianya lima tahun di bawahnya—alias 20 tahun.

"Gibran sudah terlanjur memberi kabar pada Kak Haris."

"Ya sudah, batalkan. Nanti mama naik taksi sendiri saja. Sekarang, mama ke kamar dulu. Itu susu cokelatnya jangan lupa dihabiskan, mumpung masih panas." Elsa lantas keluar dari kamar.

Usai menghabiskan segelas susu cokelat itu, Gibran membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pikirannya kali ini beralih pada Reza. Sebab ia telah mengetahui beberapa fakta dari Deni siang tadi.

"Arinta mana, Gib? Bukannya tadi dia sama lo?" tanya Deni saat melihat Gibran memasuki kafe sendirian.

"Pulang." Hanya satu kata yang terucap dari mulut Gibran.

Perbincangan mereka terhenti kala makanan dan minuman datang.

"Jadi, bagaimana dengan Reza? Apa informasi yang Anda maksudkan tadi?" tanya Gibran usai menyelesaikan aksi makannya.

"Asal lo tahu, Gib. Om Guntur bangkrut dan istrinya sekarang ada di rumah sakit ... jiwa," ungkap Deni.

Sama halnya dengan Deni, Gibran pun kaget mendengar kabar itu. Ia tak menyangka temannya yang satu ini—Reza, benar-benar tak menceritakan masalah sebesar ini dan malah terlihat enjoy di depannya.

"Menurut gue semua ini ada kaitannya soal dia yang sabotase truk itu, nggak mungkin kan dia gabut dan ngelakuin hal sefatal itu?" tebak Deni lalu menyeruput minuman di depannya.

"Maybe it is true what you said just now, sepertinya kita harus cari tahu."

Deni melotot mendengar perkataan Gibran. "Woi, Gib! Lo kalo ngomong jangan Inggris napa! Udah tahu nilai gue anjlok mulu di situ."

"Belajar! Jangan hanya perempuan yang ada di otak Anda."

"Jleb banget, tapi emang bener." Deni tertawa singkat.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now