BAB 37

1.1K 117 104
                                    

Malam ini hujan menumpahkan airnya sejak sore tadi. Hal itu membuat genangan air di jalan semakin banyak. Sementara, lampu-lampu jalanan mulai menampakkan tujuannya dipasang, lain halnya di kamar Sherin. Ia duduk termenung di atas kursi roda dengan pencahayaan yang minim—hanya berasal dari senter di ponselnya.

Lampu kamar sengaja Sherin matikan sejak sepuluh menit yang lalu. Bukan tanpa alasan hal itu dilakukannya, melainkan saat ini buliran air mata Sherin telah membasahi kedua pipinya, bahkan mengalir sampai baju yang ia kenakan. Mungkin dengan gelap, ia merasa lebih nyaman mengeluarkan tangisannya.

Ketika pintu di kamarnya menciptakan sebuah ketukan dari luar dan suara Bunda yang terdengar. Membuat Sherin dengan segera menghapus air matanya. Ketika ia ingin menyalakan kembali lampu di kamarnya, Bundanya sudah terlebih dahulu masuk.

"Lho Sherin kenapa lampunya dimatiin, Sayang," ujar Rina usai menekan saklar.

"Nggak papa, Bun. Aku cuma lagi pengen aja."

"Kamu habis nangis, ya?"

Sepertinya Sherin memang tak pandai menyembunyikan air matanya jika bersama dengan Bundanya.

"Tadi aku buka jendela, Bun dan anginnya kenceng banget mungkin karena hujan kali, ya. Jadi, kelilipan deh."

"Jangan bohong sama Bunda. Kamu lupa, ya? Jendela di kamar ini kan nggak bisa dibuka dan belum dibenerin? Udah fiks kamu bohongin Bunda."

Nah kan terbukti. Sherin lupa jika sekarang dirinya berada di kamar tamu lantai satu, bukan di kamarnya sendiri. Ditambah ia juga tak ingat jika jendela kamar ini memang sedang rusak dan tak bisa dibuka.

"Ayo jujur sama Bunda. Kamu lagi ada masalah apa?"

Sherin mengangguk sekilas. "Bunda pernah nggak suka sama seseorang, tapi orang itu nggak suka sama Bunda."

"Pernah dong."

"Beneran, Bun? Cerita dong sama aku." Sherin kembali menghapus air matanya.

"Mendingan kamu di kasur aja biar lebih nyaman. Sini Bunda bantu."

Dengan dibantu Rina. Sherin kini berpindah tempat. Dari yang awalnya di kursi roda sekarang berada di atas tempat tidur.

Dinginnya malam ini kian terasa, apalagi karena hujan yang tak kunjung reda. Alhasil Rina mengambil selimut yang lebih tebal dibanding yang sekarang tergeletak di atas tempat tidur, lalu menyelimuti putrinya.

"Dulu, Bunda pernah suka sama adik kelas, tapi ya gitu dia nggak suka sama Bunda. Kalau dipikir-pikir agak aneh, ya Bunda malah naksir sama yang lebih muda. Padahal dulu ada tiga kakak kelas yang dekatin Bunda bahkan sampai nembak buat jadi pacarnya."

"Terus Bunda terima nggak? Dan apa salah satu dari ketiganya itu ada Ayah?"

Sherin terlihat sangat antusias mendengar cerita masa remaja Bundanya. Siapa tahu nantinya ia bisa terapkan pada alur hidupnya—yang sekarang tengah mengganggu pikirannya.

"Bunda tolak semua soalnya waktu itu Bunda menganggap mereka itu kayak kakak sendiri. Sering dijagain sama mereka, tapi pas itu Bunda belum kenal sama Ayah kamu."

"Terus ... terus ...."

"Waktu Bunda lulus, otomatis adik kelas yang Bunda sukai masih sekolah kan? Nah sejak itu Bunda fokus kuliah buat lupain dia. Eh, pas semester tiga kalau nggak salah, Bunda ketemu sama dia terus tanya lagi soal perasaan dia. Siapa tahu kangen kan sama Bunda, tapi ternyata dia tetep nggak mau dan lebih kagetnya lagi. Dia malah pacaran sama sahabat Bunda sendiri."

Seketika pikiran Sherin tertuju pada Arinta. Apa mungkin Gibran ada rasa dengan sahabatnya itu? Secara setiap hari mereka selalu bertemu. Kalau memang benar, Sherin hanya bisa melihat semua itu dengan senyuman. Apalagi waktu itu Sherin melihat Gibran yang memberikan cincin pada Arinta. Ya, walau pun ia tidak tahu pasti itu sebuah cincin atau bukan.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now