BAB 44

1.3K 122 5
                                    

Hari ini adalah hari pertama seorang Reza kembali menghirup udara bebas, setelah keluar dari penjara.

Sherin telah membujuk kedua orang tuanya untuk membebaskan kakak kelasnya. Beruntung keluarga korban sopir truk pun juga menyetujui, sebab tiga kali Sherin datang ke rumahnya dan melakukan permohonan.

Semua itu Sherin lakukan, sebab ia tidak tega dengan masa depan Reza. Setahunya kakak kelasnya yang satu ini, memiliki kemampuan di bidang akademik dan non akademik. Hanya saja entah kenapa kemarin dia sempat berbuat nekat. Walau pun sepenuhnya Sherin belum mempercayainya—jika kejadian tabrakan itu ulah Reza.

"Sekali lagi saya berterima kasih kepada Om dan Tante yang sudah bebasin saya dari penjara. Padahal saya sudah membuat Sherin koma dan keadaannya yang seperti sekarang," ujar Reza di hadapan kedua orang tua Sherin.

"Saya dan istri sudah sepenuhnya memaafkan kamu, tapi ingat! Jangan diulangi lagi." Alex menepuk pundak Reza sambil tersenyum ke arah istrinya.

Selain kebebasan itu, Alex selaku kepala keluarga pun mengetahui keadaan Reza yang sebenarnya. Jika ternyata keluarga Reza tengah mengalami kebangkrutan.

"Terus sekarang papa kamu tinggal di mana?" tanya Rina.

"Papa saya tinggal di kontrakan, Tan. Nggak jauh dari rumah saya sebelumnya."

"Kal—" Perkataan Rina terhenti kala dua orang berpostur tegap lengkap dengan seragam SMA Dharmawangsa yang masih melekat di tubuhnya.

Dua orang itu tak lain adalah Gibran dengan Deni. Pertanyaannya, mengapa bisa keduanya sekarang berada di rumah Sherin? Sementara waktu itu masih menunjukkan pukul setengah dua belas siang dan jam pelajaran pun belum berakhir.

"Lho, bukannya ini masih jam sekolah, ya? Kalian berdua bolos?" tanya Rina yang tampak heran.

"Sebenernya niat awal emang mau bolos, Tan, tapi keburu ada pengumuman pulang lebih cepet. Ya nggak jadi," jawab Deni.

"Kalian ini mau jadi apa kalau kerjaannya bolos. Lain kali jangan pernah punya pikiran kayak gitu, sebentar lagi kalian naik kelas dua belas kan?"

"Hehehe ... nggak diulangi lagi kok, Tan."

"Nah bener itu. Kelas akhir harus fokus."

"Siap, Tante!"

Sedari tadi Deni yang membuka suara, berbeda dengan Gibran yang terdiam. Namun, pandangannya mengarah pada Sherin yang menundukkan kepalanya.

Mengetahui Gibran yang tengah menatapnya, Sherin segera mendorong kursi rodanya dan meninggalkan ruang tamu. Ia tak mau berlama-lama berada dalam satu ruangan bersama dengan Gibran.

"Rez, kangen gue sama lo!" celetuk Deni lalu memukul pelan perut Reza.

"Kebiasaan lo! Main pukul orang."

"Biasa lah. Oh, ya lo ngapain pake sabotase truk segala. Jadi mendekam di bui kan lo!"

Mendadak Reza terdiam di tempat dengan ekspresi yang berbeda dari sebelumnya, terlihat seperti ada yang ditutup-tutupi darinya. Melihat hal itu, Deni merasa bersalah atas ucapannya.

"Eh, sorry lah gue cuma bercanda. Nggak usah tegang gitu napa tuh muka! Ngomong-ngomong nih, gue kangen nyontek tugas sama lo." Deni berusaha mencairkan kembali suasana sekarang, tetapi tetap tak ada perubahan. Mereka yang masih di ruang tamu justru menatapnya aneh.

Memang perkataannya ada yang salah lagi? Sepertinya apa yang Deni ucapkan seringkali salah, ralat. Bukan salah sepertinya, lebih tepatnya tak tahu situasi dan kondisi.

Formal Boy (END) Where stories live. Discover now